SEJARAH REVOLUSI ISLAM IRAN


A. Sejarah Iran

Dalam sejarahnya, Iran[1], sebelum revolusi tahun 1979 yang menggulingkan dinasti Pahlevi, adalah bangsa yang mempunyai bentuk pemeritahan model monarki. Sejak jaman Cyrus yang mendirikan kerajaan Archaemenia pada era kuno dan Dinasti Safawi serta Dinasti Qajar, sistem pemerintahan yang ada saat itu adalah monarki. Sebenarnya Dinasti Qajar sudah meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang mengarah pada bentuk pemerintahan yang lebih demokratis melalui Revolusi Konstitusional tahun 1906, akan tetapi dinasti yang menggantikan, yakni dinasti Pahlevi mengingkari konstitusi itu dan cenderung pada bentuk pemerintahan monarki-absolut.


Revolusi Iran 1979 merupakan sesuatu yang monumental dalam sejarah Iran, bahkan sejarah umat Islam atau sejarah dunia, karena tradisi absolutisme politik dalam sistem pemeritahan monarki dapat diganti dengan sistem pemerintahan ulama bercampur dengan sistem demokrasi modern. Peristiwa penting itu sudah selayaknya mendapat apresiasi yang cukup memadai melalui kajian dan penelitian yang mendalam, untuk mendapatkan gambaran peristiwa yang komprehensif dan otentik. Maka, langkah pertama dalam mengkaji tentang revolusi Iran adalah menelisik jauh ke belakang sejarah Iran yang panjang dan berliku. Revolusi yang terjadi pada tahun 1979 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dan a-historis. Revolusi itu mempunyai akar geneologis dalam sejarah revolusi Iran pada masa silam dan sejarah bangsa itu yang kaya dan komplek.
1. Iran Pra-Islam

Iran (persia) adalah salah satu negara tertua di dunia. Sejarahnya telah dimulai sejak 5000 tahun yang lalu. Iran berada pada persilangan yang strategis di daerah Timur Tengah, Asia Barat Daya. Bukti keberadaan manusia di masa lampau pada periode Palaeolitikum Awal di pegunungan Iran telah diternukan di Lembah Kerman Syah. Dan seiring dengan berjalannya sejarah panjang ini, Iran telah mengalami berbagai invasi dan dijajah oleh negara asing. Beberapa referensi tentang keadaan sejarah Iran dengan demikian tidak bisa dihapuskan untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang sesuai terhadap perkembangan yang terjadi selanjutnya.

Peradaban awal utama yang terjadi pada daerah yang sekarang menjadi negara Iran, adalah peradaban kaum Elarnit, yang telah bermukim di daerah Barat Daya Iran sejak tahun 3000 S.M. Pada tahun 1500 S.M. suku Arya mulai bermigrasi ke Iran dari Sungai Volga utara Laut Kaspia dan dari Asia Tengah. Akhirnya dua suku utama dari bangsa Arya, suku Persia dan suku Medes, bermukim di Iran. Satu kelompok bermukim di daerah Barat Laut dan mendirikan kerajaan Media. Kelompok yang lain hidup di Iran Selatan, daerah yang kemudian oleh orang Yunani disebut sebagai Persis-vang menjadi asal kata nama Persia. Bagaimanapun juga, baik suku bangsa Medes maupun suku bangsa Persia menyebut tanah air mereka yang baru sebagai Iran, yang berarti “tanah bangsa Arya”.[2]

Pada tahun 600 S.M. suku Medes telah menjadi penguasa Persia. Sekitar tahun 550 S.M. bangsa Persia yang dipimpin oleh Cyrus menggulingkan kerajaan Medes dan membentuk dinasti mereka sendiri (Kerajaan Archaemenia). Pada tahun 539 S.M., masih dalam periode pemerintahan Cyrus; Babylonia, Palestina, Syria dan seluruh wilayah Asia Kecil hingga ke Mesir telah menjadi bagian dari Kerajaan Archaemenia. Dan dalam masa pemerintahan Darius, jalur pelayaran mulai diperkenalkan, bersamaan dengan dimulainya sistem mata uang logam emas dan perak. Jalan kerajaan dari Sardis hingga Susa dan sistem pos difungsikan dengan tingkat efisiensi yang menakjubkan. Pada masa jayanya di tahun 500 S.M. daerah kekuasaan kerajaan ini membentang ke arah barat hingga ke wilayah yang sekarang disebut Libya, ke arah timur hingga yang sekarang disebut sebagai Pakistan, dari Teluk Oman di Selatan hingga Laut Aral di Utara. Lembah Indus juga merupakan bagian dari Kerajaan Archaemenia. Seni budaya Archaemenia memberikan pengaruh pada India, dan bahkan kemudian dinasti Maurya di India dan pemimpinnya, Asoka, sangat terimbas dengan pengaruh Archaemenia. Begi­tupun juga yang terjadi di Asia Kecil dan di Armenia, pengaruh Iran sangat kuat bertahan jauh setelah keruntuhan dinasti Archaemenia. Ada beberapa kata yang diserap oleh bahasa Armenia dari kata-kata bahasa Iran sehinggga selama beberapa lama para peneliti mengira bahwa bahasa Armenia merupakan bagian dari bahasa Iran dan bukannya merupakan unit yang terpisah dari keluarga bahasa Indo-Eropa.[3]

Pada sekitar 513 S.M., bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara dan hampir menguasai wilayah ini. Darius sekali lagi mengirim bala Tentara Agung-nya ke Yunani di tahun 490 S.M., tetapi dikalahkan oleh pasukan bangsa Athena di Marathon. Sekali lagi putra Darius, Xerxes, menginvasi Yunani di tahun 480 S.M. Bangsa Persia mengalahkan tentara Sparta setelah melalui pertempuran sengit di Thermopylae. Akan tetapi mereka mengalami kekalahan yang menyesakkan di Salamis dan didepak dari Eropa tahun 479 S.M. Setelah mengalami kekalahan di Yunani, Imperium Archaemenia kian melemah dan mengalami kemerosotan. Pada tahun 1331 S.M. Alexander dari Macedonia menaklukkan kerajaan tersebut, setelah mengaIahkan tentara Persia yang besar dalam pertempuran di Arbela. Kemenangan ini mengakhiri Imperium Archaemenia dan Persia pun menjadi bagian dari kekaisaran Alexander.[4]

Penaklukan keseluruhan kerajaan Archaemenia oleh Alexander dianggap sebagai sebuah tragedi besar oleh bangsa Iran, sebuah fakta vang direfléksikan dalam kisah epik nasional Syah Nameh, yang ditulis oleh Firdausi, seorang penyair, kira-kira pada awal abad 11 M. Lebih dari sepuluh tahun setelah kematian Alexander di tahun 323 S.M., salah seorang panglima bernama Seleucus mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Persia dari tahun 155 S.M. Setelah itu, bangsa Parthian memenangkan kendali atas Persia. Pemerintahan mereka bertahan hingga tahun 224 M. Bangsa Parthian membangun kerajaan yang besar melewati Asia Kecil Timur dan Asia Barat Daya. Selama 200 tahun terakhir pemerintahan mereka, bangsa Parthian harus berperang dengan bangsa Romawi di Barat dan bangsa. Kushan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Afganistan.[5]

Sekitar tahun 224 M seorang Persia bernama Ardhasir menggulingkan kekuasaan bangsa Parthian dan mengambil alih kerajaan. Setelah lebih dari 550 tahun di bawah kekuasaan bangsa asing, orang Persia kembali memerintah Persia, dan dinasti Sassania ini bertahan selama lebih dari 400 tahun. Dalam kurun waktu itu, seni budaya Iran tumbuh subur, jalan-jalan, irigasi dan bangunan berkembang pesat, akan tapi perang antara bangsa Persia dan bangsa Romawi terus berlanjut mewarnai sebagian besar masa pemerintahan rezim Sassania. Peradaban Sassania mencapai kejayaannya di pertengahan abad VI M. Persia memenangkan beberapa peperangan dengan Romawi, dan menguasai kernbali wilayah yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan Archaemenia. Tentara Persia sebenarnya telah menguasai hingga perbatasan Konstantinopel, yang pada saat itu merupakan ibukota dari kerajaan Byzantium (Kerajaan Romawi Timur). Akan tetapi mereka di sana dikalahkan dan terpaksa mengundurkan diri dari sernua wilayah yang telah mereka taklukkan.[6]

Kerajaan Sassania jauh lebih tersentralisir dari para pendahulunya. Zoroastrianisme menjadi agama negara. Akan tetapi selama masa rezim Syahpur 1, seorang pemimpin agama dan pergerakan baru muncul ketika Mavi menyatakan dirinya sebagai rasul Tuhan Yesus yang terakhir dan terbesar. Pada akhirnya dia dihukum mati. Agamanya kemudian disebut Manicliaeisme. Di bawah dinasti Sassania, eksploitasi dan penindasan yang ekstrim terhadap rakyat mencapai puncaknya. Perbudakan telah rnelampaui batas dan memasuki masa krisis. Migrasi besar-besaran kaum tani miskin telah merambah kota-kota sebagai akibat tirani kebangsawanan feodal yang tak tertahankan. Namun, di kota-kota pun mereka masih diperlakukan sebagai budak. Penindasan yang terakumulasi itu tiba-tiba meledak dalam bentuk gerakan revolusioner di bawah pimpinan Mazdak.[7]

Mazdak adalah seorang revolusioner besar jaman itu dan gerakannya, seperti halnya gerakan Kristen di masa awal yang berkembang di bawah kondisi serupa, memiliki kandungan komunistik. Ajarannya menuntut distribusi kesejahteraan yang adil, melarang memiliki istri lebih dari satu, dan memperjuangkan eliminasi kebangsawanan dan feodalisme. Gagasan-gagasan revolusioner Mazdak mengakar kuat di kalangan budak dan kaum tani miskin. Gerakannya bertahan selama 30 tahun dari tahun 494 M hingga 524 M. Pada masa pemerintahan Raja Nosherwan, gerakan Mazdak secara brutal ditindas dan tiga puluh ribu pengikutnya dibinasakan, akan tetapi pada dasamya Nosherwan telah dipaksa untuk melaksanakan reformasi sosial dan agraris. Gerakan revolusioner Mazdak adalah salah satu perjuangan kelas yang paling inspiratif dalam sejarah Iran. Tradisi ini telah meninggalkan jejak mendalam pada perjalanan panjang gerakan revolusioner Iran.[8]


2. Penaklukan Islam Sampai Munculnya Dinasti Safavi

Di pertengahan abad ke-7 M, terjadilah sebuah peristiwa yang merubah nasib Iran. Tentara Arab menaklukkan negara tersebut dan kebanyakan rakyat Iran kemudian menganut agama Islam.[9] Alasan bagi keberhasilan pesat agama baru itu tidak sulit untuk dicari. Di samping kesemua pencapaian yang demikian menakjubkan, Kerajaan Sassania dicirikan dengan adanya penindasan yang ekstrim terhadap rakyat. Dengan memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia, Zoroastrianisme, dan sejak saat itu hingga hari ini, orang Persia menjadi Muslim. Namun, warna Islam mereka dari awalnya agak berbeda dengan yang dimiliki oleh Muslim yang lain. Mereka mengisinya dengan warna-warna Iran yang spesifik ketika bangsa Persia itu menganut agama Islam dalam bentuk Syi’ah yang heterodoks dan menggunakannya sebagai senjata yang digunakan untuk melawan para penguasa Arab.

Selama beberapa abad, bahasa Arab menggantikan bahasa Pahalavi (bahasa Persia tengah), bahasa vang dipakai oleh bangsa Persia selama masa pemerintahan Sassania (periode Kerajaan Persia Kedua). Pemberlakuan bahasa yang bagi masyarakat Persia sangat asing itu telah menghambat perkembangan kreatif kesusastraan dan puisi Persia. Dan jelas di sini bahwa semangat nasional kembali mengemuka dengan sendirinya. Bidang kesusastraan pertama pendobrak ketergantungan pada bahasa Arab setelah dua abad lamanya mendominasi kebudayaan adalah puisi. Tidak diragukan lagi, ini merupakan hasil dari kekuatan tradisi lisan dalam penyampaian puisi. Betapapun juga, pengaruh bahasa Arab masih tetap kuat, dan ketika bahasa Persia muncul kernbali sebagai bahasa tulis di abad ke-9, karya-karya sastra ditulis dalam naskah berbahasa Arab. Selama kurang lebih lima abad, mayoritas karya yang ditulis oleh orang Persia dalam bidang teologi, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika dan bahkan sejarah ditulis dalam bahasa Arab. Namun demikian, semenjak pertengahan abad ke-8 Iran telah menjadi pusat kesenian, kesusastraan dan sains dunia.[10]

Selama abad ke-9, kontrol Arab melemah dan Iran pecah menjadi sejumlah kecil kerajaan di bawah bermacam penguasa Iran. Akan tetapi segera musuh yang baru muncul menjelang. Pada pertengahan abad ke-11, Bangsa Turki Seljuk dari Turkistan telah menaklukkan sebagian besar wilayah Iran. Bangsa Seljuk dan suku-suku Turki lainnya memerintah hingga tahun 1220. Tahun dimana bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan mengepung seluruh wilayah, dan meluluhlantakkan segalanya. Mereka menghancurkan seluruh kota, menjagal beribu-ribu orang dan mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat dan mengerikan. Epik bangsa Iran dibanjiri dengan darah dari bencana nasional ini; setiap halarnan dipenuhi dengan catatan tentang kota-kota yang menjadi puing dan penghancuran yang mengerikan oleh kejahatan bangsa barbar nomaden ini. Setelah tahun 1335 kerajaan Mongol di Iran pada gilirannya terpecah belah dan sekali lagi sebuah kerajaan digantikan dengan serangkaian dinasti-dinasti kecil. Antara tahun 1381 dan 1404 Iran diporak-porandakan oleh invasi berulangkali oleh penakluk lainnya dari daerah Stepa Timur, yang di Barat dikenal sebagai Timurlane (“Titnur tlte Laine -Timur si Pineang “).[11]

Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suatu suku dari Turki memperoleh kendali atas beberapa wilayah Iran. Pada tahun 1501, pemimpin suku tersebut, Ismail,[12] ditahbiskan sebagai raja dan mendirikan Dinasti Safavi, dimana representasi terbesarnya adalah Syah Abbas yang memerintah dari tahun 1587 hingga 1629. Ditangkalnya invasi yang dilakukan oleh kerajaan Ottoman Turki dan suku Uzbek dari Turkistan. Tercatat Syah Abbas dan para penerusnya sangat berpengaruh dalam mendukung perkembangan arsitektur dan seni. Isfahan, yang menjadi Ibukota Safavi di tahun 1598, dikenal sebagai salah satu kota berperadaban yang paling maju. Pada masa itu orang Persia suka menyebut Isfahan sebagai Nif-e-Jaltan (“separuh dunia”). Pemberlakuan ajaran Syíah sebagai agama resmi dari negara Safavi dimaksudkan untuk menjadi kekuatan pemersatu dalam tubuh kerajaan Safavi yang memungkinkan Safavi menghubungkan rasa nasionalisme laten bangsa Iran yang luas tersebar. Di lain pihak, hal itu membawa Safavi ke kancah konflik terbuka dengan kerajaan Ottoman yang Sunni dan menggiringnya menuju dua abad pasang-surut peperangan antara kedua negara adidaya ini.[13]

Dinasti Safavi memerintah Iran hingga tahun 1722, ketika tentara Afghan menginvasi negara itu dan menguasai Isfahan. Pada tahun 1730, Nadir Syah, seorang suku Turki, mendepak bangsa Afghan keluar dari Iran dan menjadi raja. Dia membuktikan dirinya sebagai penakluk yang mengagumkan. Pada tahun 1739 Nadir Syah menguasai kota Delhi di India. Dia menjarah India dan kembali dengan membawa berlimpah-ruah harta rampasan. Tapi Nadir Syah terhunuh pada tahun 1747, yang setelahnya diikuti oleh periode chaos dimana silih berganti pemimpin-pemimpin Iran saling berebut kekuasaan.[14]


3. Syi’ah Sebagai Madzab Resmi

Syeikh Ismail, pendiri dinasti Safavi, yang telah memproklamasikan paham keagamaan Syi’ah sebagai madzab resmi negara. Dia mewajibkan setiap khatib Jum’at untuk memuja Ali dan imam-imam Syi’ah lainnya, sembari mengutuk Abu Bakar, Umar, Utsman dan penguasa-penguasa Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Kekuasaan militer digunakan untuk menundukkan orang-orang Sunni yang tidak mau mencaci-maki ketiga Khalifah tersebut; dan satu per satu kubu-kubu Sunni ditaklukan, termasuk Hamadan, Ishafan, dan Syiraz.[15] Kebangkitan Dinasti Safavi mengakibatkan berakhirnya riwayat Persia sebagai salah satu sumber pemikiran dan otodoksi Sunni, sebaliknya Persia sejak masa itu hingga sekarang menjadi pusat keagamaan dan politik Syi’ah.

Sejalan dengan program Dinasti Safavi tentang pembentukan negara maka menjadi keharusan bagi Safaviyah untuk menciptakan sebuah upaya pemantapan keagamaan yang diharapkan dapat menyokong otoritasnya dan menciptakan langkah-langkah administratif untuk mendukung rezim tersebut. Selanjutnya pihak Safaviyah mengorganissir ulama menjadi sebuah birokrasi yang dikuasai negara. Jabatan Diwan Bagi dibentuk sebagai sebuah pengadilan banding tingkat tinggi, dan pihak yang menguasai jabatan ini semakin berpengaruh hingga taraf Dewan Jenderal Militer, sedemikian rupa sehingga kewenangan hukum berada di bawah pengendalian pemerintah secara langsung. Syah juga sangat berpengaruh dalam hal kegiatan keagamaan, dengan cara menyumbangkan tanah dan sejumlah pemberian lainnya untuk mendanai kegiatan keagamaan. Tanah-tanah yang disumbangkan tersebut dinamakan soyurghal yang juga diberikan kepada beberapa keluarga tokoh agama, dan yang memungkinkan untuk diwariskan dari generasi ke generasi lainnya yang bebas dari pungutan pajak.[16]

Untuk menyokong agama resmi, rezim Safaviyah melancarkan sebuah program yang tegas untuk mengeliminir seluruh bentuk-bentuk Islam yang lainnya di dalam sebuah masyarakat keagamaan yang sangat pluralistik – yakni di tengah masyarakat Sunni, Sufi dan Syi’i. Syi’ah Dua belas (Isna Asy’âriyah) dipaksakan melalui sebuah gerakan permusuhan yang hanya sedikit atau bahkan tidak sejalan dengan daerah Muslim lainnya. Sasaran pertama bagi kebijakan Safavi adalah upaya untuk menekan gerakan Mesianis dan gerakan Syi’ah ekstrimis. Dominasi Syi’isme juga diperkuat dengan penindasan secara keras terhadap Sunni’isme. Tidak hanya tiga khalîfah pasca Nabi (Abu bakar, Umar dan Usman) yang dicaci maki, tetapi sejumlah makam ulama Sunni juga dirusaknya. Beberapa tempat keramat dihancurkan, ibadah haji ke Makkah diabaikan dan digantikan dengan sejumlah kegiatan ritual ke makam para imam Syi’ah.

Setelah Syi’ah menjadi paham resmi negara, mayoritas masyarakat Persia lantas menjadi mengikutnya. Hal ini sesuai dengan harapan rezim Safavi yang ingin menjadikan Syi’ah sebagai kekuatan politik dalam melawan negara tetangga yang sekaligus sebagai musuh bebuyutannya, yakni kerajaan Ottoman, Turki, yang kebetulan adalah berfaham Sunni. Sejak saat itu, identitas nasional komunitas Persia banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Syi’ah, khususnya Syi’ah Isna Asy’âriyah atau Syi’ah Imâmiyah. Ajaran Syi’ah ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk menjaga identitas dan kemerdekaan nasional serta menggerakkan dukungan rakyat. Syi’ah yang tadinya adalah aliran pinggiran dalam sejarah Islam berubah menjadi paham mainstreem dalam sebuah wilayah politik yang bernama kerajaan Dinasti Safavi.

Syi’ah[17] sebagai salah satu faham dalam Islam telah muncul dalam sejarah jauh sebelum Dinasti Safavi berdiri. Ia diidentikan sebagai kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan Ahlu al-Baît. Kristalisasi kelompok ini muncul pertama sejak wafatnya Nabi Muhammad dan terjadi polemik tentang siapa yang paling berhak menggantikan beliau sebagai pemimpin politik dan keagamaan. Kelompok Syi’ah tentunya mengklaim bahwa Ali yang mestinya berhak menggantikan beliau, tetapi kenyataannya kekuasaan kekhalifahan berada di tangan Abu Bakar. Golongan ini semakin berkembang pada tahun-tahun terakhir kekhalifahan Usman, karena ketidakmampuan khalîfah ketiga ini mengelola negara. Sampai akhirnya kelompok betul-betul terkristalisasi sejak Ali bin Abi Tâlib menggantikan Usman sebagai khalîfah keempat, apalagi sejak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah terhadap Ali sampai akhirnya Mu’awiyah dapat mengalahkan Ali.

Sayyed Hossein Nasr menyatakan bahwa masalah kepemimpinan (penggantian kekuasaan dari Rasulullah) tidak satu-satunya faktor munculnya kelompok Syi’ah. Persoalan penggantian kekuasaan biasa dikatakan sebagai untuk yang memadatkan orang-orang Syi’ah ke dalam suatu golongan tersendiri, sedangkan tekanan politik pada masa-masa kemudian, terutama syahidnya Imam Husein, hanya meningkatkan kecenderungan orang-orang Syi’ah untuk melihat diri mereka sendiri sebagai suatu masyarakat terpisah dalam dunia Islam. Namun sebab utama munculnya Islam Syi’ah, menurut Hossen Nasr, terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu sendiri, dan karena itu mesti diwujudkan.[18]

Perbedaan paling fundamental antara Sunni dan Syi’ah adalah pada persoalan kepemimpinan. Syi’ah cenderung bersikukuh bahwa kepemimpinan adalah hak Ali dan keturunannya yang tentu saja hal ini tidak diakui dalam tradisi Sunni. Lima prinsip dasar (ushûluddin) yang diakui oleh Syi’ah diantaranya adalah tauhîd, yakni kepercayaan kepada keesaan Tuhan; Nubuwwah, yakni kenabian; Ma’âd, yaitu kehidupan akherat; imâmah atau keimaman, yakni percaya adanya imam-imam sebagai pengganti nabi; Ādil atau keadilan Tuhan. Dalam tiga prinsip dasar – Tauhîd, Nubuwwah dan Ma’âd – Sunni dan Syi’ah bersepakat, tetapi dalam dua prinsip yang terakhir mereka berbeda.[19]

Syi’ah terpecah dalam berpuluh-puluh kelompok. Perpecahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah karena perbedaan prinsip dan ajaran yang berakibat timbulnya kelompok yang ekstrem (al-ghulât) dan kelompok moderat. Faktor lainnya adalah karena perbedaan pendirian tentang siapa yang harus menjadi imam sepeninggal Husein bin Ali, Imam ketiga, sesudah Ali Zainal Abidin, Imam keempat, dan sesudah Ja’far al-Shadiq, Imam keenam. Dari kelompok-kelompok tersebut yang paling terkenal adalah Zaidiyah[20], Ismailiyah[21], dan Isna‘As’âriyah.[22]

Sepanjang perjalanannya, sejarah politik Syi’ah lebih banyak dipengaruhi oleh quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersikap apolitis) ketimbang aktivisme dalam politik. Hal ini berlangsung sejak masa pasca Ali bin Abi Thalib, yang juga Imam Pertama dalam Syi’ah. Awal sejarah Syi’ah dimulai dengan apa yang bisa dilihat sebagai suatu kekalahan politik. Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan oleh Mu’awiyah, kemudian putra Ali, Hasan bin Ali, memberikan konsesi kepada Mu’awiyah (pendiri Dinasti Umayyah). Husein bin Ali terbunuh bersama seluruh anggota keluarga oleh Yazid, putra Mu’awiyah, di padang Karbala. Sejak itu, yakni mulai pada masa Ali Zain al-‘Abidin (658-712 M.), putra Husein yang selamat dari pembantaian Karbala, quietisme dimulai.[23]

Sikap quietisme Syi’ah ini diperkuat oleh salah satu ajaran Syi’ah yang bernama taqiyeh, yakni menyamarkan keyakinan sehingga kelompok Syi’ah ini dapat survive di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang non-Syi’ah atau mainstreem politik yang tidak berafiliasi kepada kelompok Syi’ah.[24] Tetapi taqiyeh hanya dilakukan dalam situasi di mana penganut Syi’ah merupakan kelompok minoritas yang menghadapi “tekanan-tekanan” dari mayoritas Sunni. Dengan strategi ini Syi’ah berharap dapat mempertahankan eksistensi kelompok dan madzab pemikirannya, sembari tetap hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), khususnya dengan mayoritas Sunni yang tidak menyukai kehadirannya dan bahkan yang ingin menyingkirkannya.

Quietisme Syi’ah juga didukung oleh munculnya satu aliran pemikiran hukum dalam sejarah Syi’ah yang disebut sebagai aliran Akhbâriyyah (berasal dari kata akhbâr yang berarti tradisi atau hadis).[25] Aliran ini percaya bahwa ulama tidak mempunyai hak untuk melakukan ijtihad atau uapaya menyimpulkan hukum untuk menjawab persoalan yang muncul pada zamannya. Tugas ulama tidak lebih dari sekedar menyampaikan tradisi dari nabi dan para imam, yang menurut kelompok ini sesungguhnya sudah cukup bisa menjawab kebutuhan zaman. Lawan dari aliran Akhbariyah adalah Usūliyyah yang berpendapat bahwa kaum ulama sesungguhnya mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan ijtihad dalam menjawab persoalan-persoalan di zamannya. Keberadaan aliran Usūliyyah ini pada sejarah berikutnya menjadi aliran dominan dalam Syi’ah, dan peran penting kelompok ini adalah membawa kelompok Syi’ah dalam pusaran aktivisme politik yang selama ini dijahui.



4. Dinasti Qojar

Iran era modern bermula dengan tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah melewati periode anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas negara Iran.[26] Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925 dengan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi keagamanannya yang sangat tinggi.

Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan secara efektif sistem pemerintahan negara ini. Beberapa propinsi yang mereka kuasai terpecah belah menjadi sejumlah faksi kesukuan, etnik, dan faksi lokal yang dikepalai oleh tokoh-tokoh kesukuan-lokal mereka. Rezim baru tersebut sama sekali tidak pernah mencapai tingkat legitimasi yang sebelumnya pernah dicapai pemerintahan Safaviyah dan tidak pernah menegakkan kekuasannya secara penuh.

Ketidakpuasan yang semakin meningkat terhadap kemandulan serta korupsi dalam kerajaan, seiring dengan kekecewaan terhadap dominasi ekonomi bangsa asing dan tekanan politik imperialis, menemukan ekspresinya dalam bentuk gerakan massa. Revolusi Bâb[27] yang terjadi pada tahun 1844 dapat dipadamkan oleh Penguasa Qojar, akan tetapi gerakan tersebut mewariskan sebuah tradisi revolusi yang mengambil bentuk dari berbagai sekte religius seperti gerakan Bahai.[28] Gerakan massa meletus kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik luar negeri Qajar yang meng­hadiahkan konsesi kepada Perusahaan Tembakau Inggris. Berawal dari sebuah kekecewaan lantas berubah menjadi gerakan yang menyebar luas dan kerusuhan yang merebak di berbagai tempat yang berbeda. Hasil gerakan radikal ini yang paling utama adalah tuntutan akan reformasi konstitusional, yang diimplementasikan pada tahun 1906.

Gerakan revolusi ini menuntut reformasi yang demokratis, dipimpin oleh sebuah aliansi tak tetap dari kelas pedagang dan institusi religius yang mendapatkan dukungan mereka dari para bazâri (pekerja dan pedagang), para penjaga toko dan unsur kelas yang lebih rendah lainnya di kota itu. Monarki dipaksa untuk merumuskan sebuah konstitusi dimana hak-hak borjuis-demokrat, seperti kebebasan berbicara, kemerdekaan berkumpul dan berserikat dianugerahkan dan pedagang serta para saudagar diberi hak-hak perwakilan dalam majelis (parlemen) secara terbatas. Gerakan ini juga menuntut pembaharuan konstitusional guna membatasi kekuasaan mutlak kerajaan. Namun, meskipun kekuatan ini membangkitkan gerakan nasionalis awal dan perlawanan terhadap tekanan pihak asing, Iran, sebagaimana kebanyakan negara Muslim lainnya, tetap mengalami pengaruh imperialisme Eropa:

That state have come to the semi-colone place from first until now people Belgia run on duty tollbooth … all heroic of Swedia master the state police … all Russia army fulfill the baracs … people Hungaria manage the exchequer … Dutch nation have and operate the single telegraph channel .. and big industrial operations ( textile).

(Negara itu telah menjadi semikoloni tempat dari dulu hingga sekarang orang-orang Belgia menjalankan dinas pabean … para perwira Swedia menguasai polisi negara … para tentara Rusia memenuhi (barak-barak) … orang-orang Hungaria mengurusi perbendaharaan … bangsa Belanda memiliki dan mengoperasikan satu-satunya saluran telegraf .. dan operasi-operasi industri besar (tekstil).) [29]


Berbagai aksi protes publik tersebut mengantarkan pada penyelenggaraan sidang dewan konstituante nasional pada 1906. Keanggotaan konstituante tersebut, 26 persen dari kalangan tokoh artisan (pengrajin), 15 persen dari kalanga pedagang, dan 20 persen dari kalangan ulama. Dewan ini mencerminkan sebuah koalisi antara ulama, pedagang, dan kelompok liberal didikan Barat, menciptakan konstitusi yang secara resmi tetap berlalu sampai tahun 1979.[30]

Pemberlakuan konstitusi tersebut justru merupakan awal dari sebuah pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis yang didukung oleh ulama, pedagang, artisan, dan tokoh-tokoh suku Bakhtiyati ditentang oleh Syah, ulama konservatif, dan oleh tuan-tuan tanah yang kaya raya dan juga kaki tangan mereka. Berkobarlah serangkaian konflik sengit yang sering menjurus kepada pertempuran fisik. Pada 1907 dan 1908, Syah menggunakan Brigade Cossack untuk membubarkan parlemen dan kalangan konstitusionalis menduduki kekuasaan antara 1909-1911.

Negara Iran modern lahir dari sebuah periode anarkis yang berlangsung dari tahun 1911 sampai 1925. Selama periode ini intervensi asing mencapai puncaknya. Dalam Perang Dunia I tentara Rusia dipusatkan di beberapa propinsi bagian utara, sedangkan pasukan Inggris menduduki wilayah bagian selatan Iran. Dengan hancurnya rezim Tsaris pada tahun 1917, seluruh wilayah Iran jatuh ke tangan Inggris, dan dengan perjanjian Anglo-Parsian tahun 1919, menjadikan Iran sebagai pemerintahan protektorat Inggris.[31] Pada saat bersamaan Rusia mendukung gerakan kelompok separatis di Jilan dan Azerbaijan dan Partai Komunis di Tabriz dan Teheran. Sekalipun demikian, Inggris dan Rusia menyepakati perjanjian kerjasama dengan beberapa persyaratan yang menguntungkan pihak Iran. Rusia sepakat untuk menarik diri dari Jilan dan menutup hutang dan konsesi Iran, dan menyerahkan kembali hak-hak khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada pihak asing di Iran. Rusia bersedia menyediakan industri penangkapan ikan di laut Caspia dan berhak untuk melibatkan diri manakala Iran terancam oleh kekuatan asing lainnya. Dengan dukungan perjanjian baru ini, Iran membatalkan perjanjian 1919 dengan Inggris yang berat sebelah.[32]

Pada 1925 Dinasti Qajar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan Dinasti Qajar.

Faktor eksternal yang muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang menjadikan Iran sebagai arena pertempuran, walaupun secara politik posisi Iran dalam perang itu adalah netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan cadangan minyak di Baku dan Laut Kaspia. Tentara Rusia terlibat dalam pertempuran sengit dengan tentara Turki di Iran barat laut. Imperialis Inggris, di pihak lain, mempertahankan kepentingan mereka di ladang minyak Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian itu menyulut Sayid Ziauddin Taba Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, memanfaatkan situasi untuk melancarkan pemberontakan atas dinasti Qajar.[33]


B. Dinasti Pahlevi

1. Periode Reza Khan (1925-1941)

Reza Khan pada masa Dinasti Qajar adalah seorang pejabat dalam Brigade Cossack, yang berkuasa sebagai Panglima Militer dan sebagai Menteri Pertahanan. Karena posisinya itu, ia mampu mengkonsolidasikan pengaruhnya di kalangan pasukan militer dan kepolisian. Pada kesempatan yang sama, unsur kekuatan kesukuan dan unsur propinsional melemah, sehingga memudahkan Reza Khan untuk menguasai seluruh wilayah negeri. Pada 1925, ia menjadikan dirinya sebagai Syah Iran, dan pendiri kerajaan konstitusional (monarki) sekaligus pendiri dinasti Pahlevi, yang berlangsung hingga tahun 1979.

Di bawah rezim Pahlevi, terbentuklah untuk pertama kalinya dalam sejarah Iran, sebuah pemerintahan memusat yang kuat. Negara tersebut dibangun sejalan dengan ideologi nasionalis. Di bawah pemerintahan yang otoriter, negara memberlakukan program modernis ekonomi dan westernisasi kultural secara gigih. Negara yang memusat ini berhasil menguasai masyarakat kesukuan, bahkan selama periode tertentu, berhasil menjinakkan kekuatan ulama.

Langkah pertama yang ditempuh Syah Reza adalah membangun kekuatan militer modern. Sementara Qajar pada masa sebelumnya telah mengusahakan reformasi militer yang sejalan dengan pola kemiliteran Barat, maka rezim Pahlevi berusaha mempertahankan pola militer tradisional yang terdiri dari sejumlah resimen yang kompetitif daripada membentuk kesatuan militer. Syah Reza melakukan pelatihan pejabat-pejabat tentara di Prancis dan memberlakukan wajib militer. Sekitas 33 % dari anggaran negara digunakan untuk pendanaan militer dan juga sejumlah anggaran lainnya yang didapatkan dari sektor penghasilan minyak. Ia melancarkan westernisasi pasukan militer yang dengannya secara politik ia mampu mendominasi negara, namun hal itu justru tidak dapat menghindarkan Iran dari pendudukan Rusia dan Inggris tahun 1941.[34]

Program modernisasi besar-besaran di luar militer juga dilaksanakan oleh rezim Syah Reza, diantaranya pada bidang pendidikan, industri dan pertanian. Melihat struktur sosial di Iran yang pada masa itu relatif lemah, seperti rendahnya daya beli masyarakat, akhirnya negaralah yang menjadi inisiator paling menentukan dalam pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan modernisasi sosial ekonomi.[35] Intervensi negara yang sangat kuat dalam seluruh dimensi atau bidang kehidupan masyarakat Iran inilah yang menjadikan semakin kukuhnya otokrasi Reza Khan.

Dengan dukungan pasukan militer dan pemerintahannya yang kuat, rezim ini mengatasi oposisi elit agama, pedagang dan elit kekuasaan. Rezim ini mencabut perlindungan hukum partai komunis dan persatuan dagang, merendahkan posisi parlemen sebagai formalitas belaka, dan mensensor pers. Untuk tujuan politik rezim ini mengaharapkan dukungan kalangan tuan tanah. Perundang-undangan tahun 1928 dan tahun 1929 mengakui penguasaan tanah secara de facto sebagai bukti kepemilikan, dan mempersyaratkan registrasi yang ditujukan terhadap tuan-tuan tanah yang kaya raya dan tidak terhadap petani penggarap yang miskin. Rezim ini juga berusaha menekan unsur kekuatan kesukuan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah di mana negara Iran berkuasa penuh atas wilayah negerinya secara utuh dengan melumpuhkan unsur kekuatan komunitas kesukuan. Suku-suku dipaksa menetap (tidak nomaden), dan kekuasaan politik para kepala suku (khan) diambil alih oleh negara.[36]

Untuk mengokohkan kontrol negara terhadap modernisasi ekonomi, negara melakukan sekularisasi sistem administrasi hukum dan pendidikan. Pada 1928, Syah Reza memberlakukan beberapa kitab hukum yang menggeser kedudukan hukum Syari’ah. Pada 1932 parlemen mengundangkan sebuah undang-undang baru yang memindahkan registrasi dokumen-dokumen resmi kepada pengadilan sekuler dan merupakan sebuah pukulan bagi fungsi-fungsi terpenting dalam Pengadilan Agama. Undang-Undang tahun 1936, mempersyaratkan seluruh hakim telah menembuh degree (gelar sarjana) dari Fakuktas Hukum Teheran atau dari universitas luar negeri, yang tidak memungkinkan pihak ulama menduduki jabatan hakim dalam pengadilan.[37]

Melalui pembentukan sistem pendidikan sekuler, pengawasan pemerintah terhadap sekolah-sekolah agama, pengurangan dana subsidi, dan melalui beberapa langkah lainnya, rezim Pahlevi berusaha menggiring ulama di bawah kontrol negara. Pada 1934, The Teacher Trainning Act (Undang-Undang Pendidikan Guru) melahirkan sejumlah perguruan tinggi baru, dan Menteri Pendidikan memberlakukan kurikulumnya yang baru untuk sekolah-sekolah teologi. Bahkan, sebagai alternatif bagi pendidikan agama, didirikanlah sekolah-sekolah teknik oleh Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Industri Pertanian, Pertahanan dan oleh Menteri Keuangan.[38]

Reza Syah mengumbar janji-janji manis bagi Islam pada tahun-tahun awal kekuasannya dan mendapat dukungan dari para pemimpin Syi’ah. Namun, banyaknya kebijakan yang bertentangan denagn keyakinan dan identitas Islam serta melangkahi wewenang dan kedudukan para ulama semakin mengasingkan banyak ulama dan kelompok-kelompok tradisional. Agama Majusi ditetapkan secara bersama-sama dengan Islam. Pemerintah memilih nama pra-Islam (Pahlevi) dan lambang-lambang pra-Islam (singa dan matahari). Aturan busana membatasi dikenakannya pakaian keagamaan, dan mewajibkan pakaian Barat untuk kaum pria (1928), dan melarang cadar (1935). Pemerintah mengontrol sumbangan keagamaan (1934).[39] Seperti di Mesir dan negara-negara lain yang beranjak modern, para ulama kehilangan sumber-sumber utama kekuasaan dan kekayaan karena posisi mereka digantikan oleh pengadilan, pengacara, hakim, notaris, dan guru sekuler modern. Langkah pembaharuan yang dilakukan Reza Syah banyak menguntungkan kelas atas dan kelas menengah baru serta memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi dan budaya antara kelompok-kelompok yang berkiblat ke Barat tersebut dan mayoritas bangsa Iran, terutama elit tradisional

Program modernisasi yang dicanangkan Reza Syah sejak naiknya dia ke puncak kekuasaan pada akhirnya tidak dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari: Pertama, kebanyakan kegiatan ekonomi di sektor industri dimonopoli oleh pemerintah yang tidak memelihara kualitas dan akhirnya tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri dan kehilangan pasaran. Kedua, over-sentralisasi dan lambatnya birokrasi telah melahirkan situasi yang tidak sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, program-program pembaharuan pertanian dijalankan setengah-setengah dan kemudian malahan menimbulkan “landlordism”, kesenjangan antara peran para tuan tanah dan petani gurem makin melebar.[40]

Dengan pecahnya Perang Dunia II, program-program pembangunan yang dijalankan Reza Syah berhenti secara total. Simpati Syah terhadap Nazi ketika pecah perang bukan suatu rahasia lagi dan kenyataan ini menjadi alasan bagi kekuatan sekutu untuk melakukan intervensi terhadap Iran. Negara-negara sekutu yang menjadi lawan Nazi-Jerman merah besar terhadap Iran, sampai akhirnya sekutu (Inggris) menduduki Iran dan mencopot jabatan Reza sebagai penguasa Iran untuk digantikan kepada putranya, Muhammad Reza Syah.

Pemerintahan Iran di bawah Reza Syah, telah memiliki hubungan baik dengan Jerman pada tahun 1928, dengan cara lebih memanfaatkan jasa-jasa ekonomi dan teknik dari orang Jerman. Dan kecenderungan ini pun meningkat saat Adoff Hitler berkuasa di Jerman, sehingga pada tahun 1939, empat puluh satu persen dari hasil perdagangan luar negeri Iran adalah dengan Jerman. Orang Jerman yang tinggal di Iran seperti ahli teknik, pedagang dan lain sebagainya, meningkat menjadi 2000 orang. Propaganda Hilter-Nazi ini sangat berhasil dengan menekankan latar belakang bangsa Aria pada kedua bangsa tersebut, juga perjuangan mereka terhadap kebebasan dan persamaan hak di bawah pimpinan penguasa yang “mencerahkan”.[41] Padahal Iran, ketika pecah Perang Dunia II tahun 1939, menyatakan dirinya sebagai negara yang netral.

Penyerbuan Jerman atas Rusia pada bulan Juni tahun 1941, telah memaksa negara-negara Barat untuk mengirimkan bantuannya ke Rusia. Ada empat jalan alternatif yang mungkin dapat dilalui oleh Jerman, yaitu Murmansk, Vladivostok, Selat Turki dan Dataran Tinggi Iran. Murmansk dan Vladivostok tidak dapat menangani suplai pasukan dan logistik dalam jumlah yang besar, dikarenakan medannya yang cukup sulit. Sedangkan Turki menutup selat, dan untuk membukannya harus dengan cara memeranginya, suatu cara yang ditolak sekutu, mengingat Turki adalah sekutu Barat yang tidak ikut berperang. Jadi, hanya Iran satu-satunya jalan untuk transit yang praktis ke Rusia. Mengapa harus Iran? Iran dipilih karena telah memiliki organisasi yang cukup baik dan suplai pasukan dan logistik yang besar dapat dikirimkan. Tetapi ahli teknik Jerman di Iran juga dapat melakukan sabotase pengaturan transportasi sekutu, bila Iran harus membuka wilayahnya. Akhirnya, Rusia dan Inggris pada bulan Juni dan Agustus tahun 1941, meminta Iran untuk mengusir orang-orang Jerman. Namun, hal ini ditolak oleh Iran, yang berakibat kemudian dilakukannya penyerangan pasukan Inggris dan Rusia atas Iran pada tanggal 25 Agustus 1941, dan mendudukinya.[42]

Tekanan-tekanan sekutu pada akhirnya memaksa Reza Syah turun tahta pada bulan September 1941 dan kemudian dilanjutkan dengan tindakan pengusiran dari negara Iran oleh Inggris dan Rusia ke Afrika Selatan. Diktator Iran ini meninggal di sana pada 1944. Pencopotan Reza Syah dari kursi kekuasaannya telah menjadikan kondisi keamanan dalam negeri Iran kacau balau. Hal ini selain disebabkan oleh adanya intrik-intrik dari kelompok-kelompok lokal yang ingin mengambil peluang di sat kekuasaan kosong, juga disebabkan oleh adanya intervensi asing dari negara-negara sekutu yang saling berebut pengaruh di Iran.

Untuk memulihkan situasi dalam negeri, Inggris dan Rusia pada akhirnya menobatkan Mohammad Reza Syah, putra Reza Syah yang baru berusia 20 tahun dan belum berpengalaman dalam pengelolaan pemerintahan, menjadi Syah Iran atau penguasa kedua Dinasti Pahlevi.[43] Peristiwa ini mendorong Iran secara tidak langsung di bawah kendali dari dua kekuasaan negara besar, yaitu Inggris dan Rusia.


2. Periode Mohammad Reza Syah (1941-1979)

Mohammad Reza Syah mendapat dukungan dari para ulama pada tahun-tahun awal pemerintahannya. Pada waktu itu banyak orang masih menganggap monarki sebagai pelindung terhadap sekularisme total dan ancaman komunisme. Meskipun oposisi yang efektif belum terbentuk hingga 1970-an, telah muncul beberapa kritikus terhadap ekses-ekses rezim tersebut, sebab lembaga-lembaga keagamaan pada 1960-an mulai mendapat serangan dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan rezim Pahlevi semakin meluaskan kontrol negara atas banyak bidang yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan para ulama. Pembaruan yang pernah dilakukan pemerintahan ayah Syah di bidang pendidikan, hukum dan sumbangan-sumbangan keagamaan pada 1930-an, kini disertai pula dengan pembaruan di bidang pertanahan pada 1960-an yang membatasi lebih lanjut kekayaan, penghasilan, dan kekuasaan para ulama. Lagi pula, sebagai sebuah kelompok yang kedudukan dan kekuasaannya telah lama diperkuat melalui hubungan erat dengan elit politik, pemisahan antara pendidikan dan masyarakat mengakibatkan perbedaan identitas dan pemikiran yang menyolok antara kelompok elit dan cendekiawan sekular modern dengan para ulama yang religius. Ketika kekuasaan semakin terpusat di tangan Syah dan kelompok elit sekular yang berkiblat ke Barat, hubungan ulama-negara pun semakin memburuk. Akibatnya, kaum agama bersekutu dengan kelompok pedagang tradisional (bazâri) dan melibatkan diri dalam isu-isu sosial, ekonomi dan politik rakyat vis-a-vis birokrasi negara.[44]

Ketika Perang Dunia berakhir, Iran dalam posisi terhimpit oleh berbagai kekuatan negara besar. Ketika Rusia dan Inggris dapat disingkirkan oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dalam Perang Dunia II dan tengah sibuk memelihara daerah pengaruh atau mengurusi masalah sosial-ekonomi dalam negeri masing-masing, maka Amerika Serikat masuk dengan kekuatan besarnya di Iran. Masuknya Amerika di Iran itu dengan cara memasukkan penasehat-penasehatnya di berbagai sektor kegiatan pemerintahan, termasuk dalam bidang militer. Di samping itu, intervensi Amerika Serikat yang begitu besar juga berimbas pada bidang-bidang lainnya, seperti bidang ekonomi, industrialisasi, dan perdagangan. Nampaknya, Amerika Serikat ingin menjadikan Iran sebagai negara bonekanya di Timur Tengah layaknya seperti yang telah dilakukan terhadap Israel.

Salah satu fenomena bergesernya pengaruh Rusia di Iran adalah keberanian Mohammad Reza Syah melarang aktivitas Partai Tudeh (partai beraliran komunis) pada 1949 dengan alasan keterlibatan partai tersebut dalam usaha pembunuhan Reza Syah.[45] Gebrakan politik Syah tersebut tentu saja sangat disetujui oleh Amerika Serikat yang ingin menghapus tuntas pengaruh Rusia dan juga Inggris di dalam negeri Iran. Dan mulai saat itu Iran berada dalam pengaruh Amerika Serikat secara mutlak

Dengan dukungan dari Amerika Serikat, Syah ingin membangun Iran dengan melakukan pembaharuan di bidang ekonomi dan memperkenalkan rencana tujuh tahun yang bertujuan memperbaiki pendapatan ekonomi di sektor pertanian. Pada sisi lain Syah melakukan upaya-upaya represif untuk membungkam para oposan dalam negeri yang ingin menghalang-halangi program modernisasi-sekularisasi Iran.

Pada dekade 1940-an dan awal dekade 1950-an, Iran tengah berjuang merebut kekuasaan Anglo-Iranian Oil Company (AIOC).[46] Masyarakat Iran makin merasakan bahwa APOC ini merupakan sarana paling efektif yang dilakukan Inggris untuk memeras kekayaan Iran. Apalagi dalam keyataannya, keuntungan yang diperoleh dalam produksi minyak oleh AIOC, semakin lama menjadi semakin kecil yang dapat dinikmati oleh Iran. Sedangkan Inggris, sebagai pengelola perusahaan itu, mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Lebih dari dua pertiga keuntungan perusahaan diambil pihak Inggris, dan sisanya untuk Iran, itu pun masih dipotong untuk sarana-sarana pendukung lainnya, seperti pemeliharaan keamanan, lingkungan dan potongan-potongan lainnya yang berkait dengan proses produksi.[47]

Pada tahun 1951, Muhammad Mosaddeq, pemimpin Front Nasional yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Iran, dengan didukung oleh sebuah koalisi yang terdiri dari tuan tanah, tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, pedagang, dan ulama, melalui parlemen mengajukan rancangan nasionalisasi perusahaan minyak. Undang-Undang ini akhirnya disahkan tangal 1 Mei 1951 yang mengakibatkan APOC dibubarkan dan semua yang berhubungan dengan produksi minyak Iran harus dikerjakan oleh orang-orang Iran sendiri.[48] Sebagai tindakan balasan, Inggris memberikan sanksi-sanksi kepada Iran dengan melakukan pembatasan perdagangan dengan Iran, pembekuan sterling Iran dan mencegah negara-negara lain (Barat) agar tidak membeli minyak Iran. [49]

Pada akhir tahun 1952, pemerintahan Inggris menyusun rencana untuk menjatuhkan Perdana Menteri Mosaddeq. Agen-agen CIA milik Amerika juga siap membantu operasi penggulingan itu. Sehingga pada tanggal 16 Agustus 1953, melalui sebuah kudeta memperebutkan kekuasaan, koalisi antara Syah, militer, dan agen-agen rahasia asing (khususnya CIA) mampu mengalahkan Mosaddeq, dan tanggal 19 Agustus 1953 Syah kembali berkuasa.[50]

Setelah Syah kembali memegang kekuasaan di Iran, persengketaan dengan beberapa perusahaan minyak diakhiri pada 1954 dengan membentuk sebuah perusahaann minyak nasional Iran dan sebuah konsorsium perusahaan minyak asing termasuk di dalamnya Anglo-Iranian Oil Company (yang berganti nama menjadi British Petroleum) dan sejumlah perusahaan Amerika. Konsorsium tersebut akan memproduksi dan memasarkan minyak dan berbagi keuntungan dengan National Iran Oil Company (Perusahaan Minyak Nasional Iran).

Perebutran kekuasaan tahun 1953 sekaligus mengakhiri periode pergolakan terbuka untuk memperebutkan kekuasaan politik dan untuk mengembalikan sebuah rezim otorier dan memusat yang didasarkan pada dukungan pihak asing, dan untuk menjalankan modernisasi sosial dan ekonomi. Rezim Mohammad Reza Syah Pahlevi yang berhasil ditegakkan kembali secara teknik merupakan sebuah kerajaan konstitusional, namun Syah memerintah dengan kekuasaan yang benar-benar absolut. Ia menguasai angkatan bersenjata dan SAVAK[51], mengangkat para menteri, menentukan separo Dewan Senat, dan memanipulasi pemilihan Dewan Parlemen. Elit pegawai, adnimistrator, tuan tanah, dan sejumlah pedagang kaya raya dan tokoh-tokoh agama mendominasi kehidupan politik Iran.

Iran di bawah Mohammad Reza Syah adalah monarki konstitusional yang semu. Dalam teori, Iran modern diperintah di bawah konstitusi 1906 versi baru, yang dibuat untuk menetapkan pembatasan kosntitusional bagi monarki dan ciri-ciri islami dari negara tersebut. Meskipun memiliki konstitusi modern, Iran bukanlah sebuah negara sekular dalam arti memisahkan negara dari agama. Raja haruslah menjadi pengikut Madzab Ja’fari dari Syi’ah Dua Belas (Isna Asy’ariyah) dan menjadi pelindung keyakinan itu; parlemen harus memasukkan lima ulama terkemuka dalam keanggotaannya untuk menjamin bahwa tidak ada perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam. Ketentuan konstitusi ini dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan Syah dan membuatnya bertanggung jawab terhadap Majlis Perwakilan.[52] Meskipun demikian Mohammad Reza Syah, setelah kembali memegang kekuasaan pada 1953, mengabaikan konstitusi tersebut. Dia malah membangun sebuah negara berdasarkan otoritas pribadi mereka, mengidentifikasikan nasionalisme Iran dengan Dinasti Pahlevi, dan membatasi ruang gerak serta menindas ulama. Hubungan pemerintahan Mohammad Reza Syah dengan partisipasi politik rakyat berubah dari kooptasi dan kerjasama menjadi oposisi dan penindasan.

Modernisasi yang disponsori negara menimbulkan perubahan politik dan ekonomi yang berdampak panjang. Program rezim Syah menyerukan pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang memusat dan selanjutnya program itu diarahkan kepada modernisasi masyarakat yang sejalan dengan modernisasi Barat. Antara tahun 1960 dan 1977 pemerintah menempuh langkah-langkah mengkonsolidasikan pemerintahan otokratik mereka, mereformasi struktur pemilikan tanah, memodernisasi ekonomi industrial, memperkokoh kekuatan militer yang mengamankan supremasi regional mereka, dan mereformasi struktur sosial negeri ini.[53]

Dalam reformasi pertanian, pada 1962-1964 dan 1968, para tuan tanah dipaksa oleh undang-undang agar menjual kelebihan tanah kepada tuan-tanah kecil dan kepada pejabat.[54] Namun dalam prakteknya terjadi banyak penyimpangan sehingga distribusi tanah tidak sebaik yang diharapkan. Bahkah, para pemilik tanah yang baru, lantaran kekurangan modal dan tidak menguasai teknologi pertanian, memaksa pemerintah untuk bekerja keras mempertahankan dan meningkatkan hasil pertanian. Para buruh tani yang sama sekali tidak memiliki tanah, sangat rendah penghasilannya, sehingga tidak cukup untuk mengerjakan pertanian atau untuk membayar sewa (ganti rugi) pemilikan tanah, dan mereka sama sekali tidak menerima distribusi tanah. Hal ini menyebabkan mereka berpindah ke kota untuk mencari penghasilan yang lebih layak di sana.

Sesungguhnya dorongan utama program pertanian yang dilancarkan oleh Syah adalah untuk membentuk unit-unit perusahaan korporasi dan agribisnis swasta berskala besar yang disponsori negara. Korporasi pertanian tersebut mengharuskan kaum petani menyatukan tanah mereka dan bergabung dalam perusahaan yang lebih besar, bahkan mereka akan diuntungkan karena pertanahan mereka dikerjakan secara mekanis dan pengolahnya dari petani pemilik tanah sendiri.

Dikarenakan per kapita produksi pertanian menurun pada dekade 1960-an dan 1970-an, Iran semakin tergantung pada kemajuan ekonomi perindustrian. Untuk pertama kalinya sejak dilancarkannya industrialisasi pada dekade 1930-an, Iran mengalami sebuah ledakan industri. Negara berinvestasi untuk mendukung infrastruktur industri, di mana setiap separo kekayaan negara diinvestasikan kepada sektror industri. Negara juga menyokong pertumbuhan industri dengan menaikkan bea-cukai, pajak kredit, perijinan dan beberapa langkah lainnya dan memprakarsai ledakan industri baja, karet, barang kimia, bahan-bahan banguan, dan perakitan automobile. Pertumbuhan penghasilan minyak yang meningkat pesat setelah tahun 1973 juga membantu dalam meningkatkan gross national product.[55]

Pertumbuhan industri yang cepat itu menjadikan upah buruh terampil naik dengan pesat. Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah meningkatkan aliran urbanisasi dari desa ke kota. Antara tahun 1956 hingga 1971, berjuta kaum pedesaan hijrah ke kota. Pada pertengahan 1970-an, rata-rata 380.000 orang bermigrasi setiap tahunnya. Hal ini menimbulkan dampak yang buruk pada sektor agrikultur, dimana produksinya mengalami penurunan dan harga bahan makanan meningkat. Hanya dalam dua tahun, uang sewa di Teheran telah berlipat 300%. Beberapa orang mendapatkan uang dari spekulasi properti dan komisi sebagai makelar. Akan tetapi inflasi yang akut memukul telak kaum buruh, para petani dan borjuis rendahan.[56]

Dampak nyata dari imigrasi besar-besaran itu adalah gubuk-gubuk kumuh yang semakin menjamur di perkotaan dan bermunculan dimana-mana. Kemiskinan yang mengerikan membayangi massa. Dalam situasi ini, Syah yang seharusnya menjadi figur pemerintah vang bijaksana dan “progresif” justru menghambat program pembangunan. Hasilnya adalah kemerosotan nilai ekspor secara tajam, intensifikasi yang telah ada menjadi berantakan. Kaum buruh menjawabnya dengan memperbanyak serikat kerja yang bergerak di pabrik-pabrik, di mana mereka melaksanakan pekerjaan organisasi dan agitasi yang berbahaya di bawah pengawasan ketat agen SAVAK. Posisi negara yang tidak nyaman dalam perusahaan industrial seringkali memaksa otoritas untuk mengusahakan supaya agen mereka terpilih sebagai pemimpin dari apa yang disebut sebagai serikat pekerja resmi, organisasi yang dirancang oleh negara, bernama “Sindikat.” Anggota Sindikat meru­pakan unsur utama dalam kontrol negara di dalam tubuh kaum pekerja. Kaki tangan negara ini memainkan peranan penting dalam mengeliminir gerakan kaum buruh dan memobilisasi kekuatan untuk demonstrasi dan unjuk rasa mendukung rezim.

Metode kedua untuk mempolitisir adalah melalui kehadiran langsung dari agen polisi rahasia, dibawah penyamaran dalam semacam Institusi perusahaan seperti Hefazat dan Entezamat (Badan Pengamanan). Ini merupakan unit de facto SAVAK di dalam tubuh perusahaan-perusahaan. Setiap pabrik memiliki beberapa informan langsung. Entezamat dan Hefazat diawaki hampir seluruhnya oleh para kolonel dan perwira militer yang secara langsung terkait dengan SAVAK. Keberadaan para kolonel dan perwira militer dalam pabrik-pabrik dan struktur manajemen hirarkis membuat perusahaan-perusahaan berubah menjadi tempat teror seperti barak. Akan tetapi seluruh kendali ketat terhadap para pekerja tidak menangkal berjalannya pemogokan. Beberapa orang memperkirakan duapuluh sampai tigapuluh aksi mogok terjadi setiap tahunnya setelah 1973.

Dengan mengesampingkan catatan yang ada, kegagalan strategi pemerintah untuk mengamankan rezim dan untuk menon-aktifkan kaum buruh terlihat secara terang-terangan. Polisi rahasia dipaksa untuk memilih penggunaan kekuatan militer untuk mengantisipasi aksi buruh kolektif. Terdapat berbagai contoh dimana tentara mengepung pabrik yang sedang dilanda pemogokan – pabrik pembuatan perkakas Tabriz, perusahaan traktor Sazi di Tabriz, perusahaan besi baja Pars dan Renault adalah beberapa contoh pada tahun 1970-an.[57]

Pembangunan kapitalis di Iran setelah Perang Dunia 1 dan khususnya setelah Perang Dunia II secara mendalam telah merubah wajah negeri ini. Modal telah mem-penetrasi Iran dan meninggalkan jejaknya di tiap sudut masyarakat. Daerah pedesaan telah mengalami beberapa perubahan sejak land reform pada tahun 1960-an. Akan tetapi struktur fundamental dari masyarakat pedusunan belum berubah. Pembangunan ekonomi yang pesat dibarengi dengan konsentrasi modal di tangan segelintir orang. Empat puluh lima keluarga mengendalikan 85 persen perusahaan-perusahaan terbesar pada tahun 1974. Pembangunan kapitalis juga telah menciptakan kelas pekerja raksasa di Iran, dan dengan demikian mentransformasi sepenuhnya perimbangan kekuatan kelas. Fakta ini benar-benar mencolok pemandangan tahun 1979 di saat proletariat memainkan peranan penentu dalam revolusi.

Rezim Syah secara sederhana juga mereformasi kedudukan kaum perempuan. Sejak awal dekade 1920-1n beberapa tokoh intelektual, laki-laki dan perempuan tengah berjuang untuk meningkatkan pendidikan, status sosial, dan hak-hak hukum kaum perempuan. Dalam jumlah kecil, kaum perempuan mulai memasuki pekerjaan pada sektor pendidikan, perawat, bahkan bekerja di pabrik. Meskipun emansipasi perempuan dari norma-norma tradisional telah berlangsung, namun dalam hal-hal yang krusial di dalam perundangan keluarga dan perundangan hak-hak politik hampir tidak ada perubahan. Praktik perceraian (talâq) tetap sebagai sesuatu yang mudah bagi laki-laki. Pengasuhan anak tetap menjadi kewajiban utama pihak perempuan. Poligami dan perkawinan mut’ah tetap saja diijinkan. Hanya dengan undang-undang perlindungan keluarga tahun 1967 dan tahun 1975, hak preogratif perempuan sebagian terlindungi oleh legislasi yang mensyaratkan perceraian harus disampaikan di pengadilan dan mensyaratkan ijin istri untuk perkawinan poligami. Pemerintah juga merencanakan memberikan hak-hak voting kepada perempuan.

Seluruh program modernisasi yang dicanangkan Syah mengacu kepada modernisasi yang telah dilaksanakan Barat. Ini adalah bagian dari keinginan rezim Syah untuk menjadikan Iran sebagai negara maju seperti Amerika atau negara Eropa lainnya. Mohammad Reza Syah terbuai mimpi, obsesi dan ambisi untuk membangun Iran yang maju, canggih, dan modern, meskipun harus menerima dan menyambut baik ‘westernisasi’. Bahkan Syah berkata: “Westernisasi adalah percobaan besar yang harus kita sambut”.[58]

Sejak awal tahun 1960-an pemerintah Iran mulai mendatangkan tenaga-tenaga teknisi asing ke Iran. Banyaknya tenaga-tenaga pekerja asing yang masuk ke Iran, terutama yang berasal dari Amerika Serikat, menjadi salah satu faktor meluasnya pengaruh kebudayaan Barat di Iran. Sampai tahun 1978 jumlah orang Amerika yang bekerja di Iran mencapai 60.000 orang.[59] Meluasnya pengaruh kebudayaan Barat dalam bentuk seperti pornografi, minuman keras, musik pop, film, dan tempat-tempat hiburan sangat terasa di kalangan penduduk kota terutama generasi mudanya. Hal ini oleh kalangan ulama dianggap sebagai suatu ancaman terhadap nilai-nilai agama Iran yang selama ini telah dianggap sebagai sesuatu yang menyatu dengan masyarakat Iran.


C. Perlawanan Kaum Oposisi

Program modernisasi menimbulkan beberapa dampak yang sangat menonjol terhadap masyarakat Iran. Ia memperbanyak kader intelektual, pegawai, militer, menejer perusahaan, tenaga kerja ahli didikan Barat atau yang terdidik dalam sistem pendidikan modern. Sejak awal program tersebut membangkitkan kecemasan ulama yang akhirnya menimbulkan perlawanan kalangan ulama pedagang dan kalangan artisan, dan intelektual haluan kiri yang menentang konsolidasi kekuasaan rezim Syah, ketergantunagn pada dukungan asing, dan beberapa kebijakan yang menimbulkan suramnya ekonomi bagi kaum petani dan bagi kelas menengah ke bawah. Lebih lagi, gerakan oposisi tersebut berusaha menentang model pemerintahan rezim yang otoriter.

Pada dekade 1960-an dan dekade 1970-an, gerakan oposisi telah tersebar luas, namun lantaran gerakan ini tidak terkoordinir sehingga dengan mudah gerakan mereka dapat dipatahkan. Partai Tudeh dan Partai Nasional dihancurkan oleh SAVAK. Minoritas Kurdish, Arab dan Baluchi diserang karena keinginan mereka untuk membentuk otonomi regional. Beberapa kelompok gerilya militan, seperti Marxis Feda’iyani-i Khalq (Fadai’an Rakyat Marxis Leninis Iran) dan Islam haluam kiri Mojahedin-I Khalq (Mojahedin Rakyat Iran Islam Radikal), demi perjuangan Syi’isme menentang nepotisme, imperialisme, dan kapitalisme. Perlawanan tersebut menimbulkan teror namun tidak mampu menggoyahkan cengkeraman rezim Syah. Pada Februari 1971, sembilan anggota Marxis Feda’iyani-i Khalq yang bersenjata berat menyerang dan merebut pos terdekat Gendarmarie di dusun Siahkal, daerah utara Gilan yang berpegunungan dan berpohon. Setelah sembilan belas hari dikepung pasukan pemerintah, ‘Ali Akbar Safa’i-Farahani, komandan operasi Siahkal, bersama Jalil Enferadi, dan Houshang Nayeri, ditangkap oleh masyarakat setempat lalu diserahkan kepada pihak militer, sisanya terbunuh dan tertangkap. Bahkan sebelum serangan terhadap pos terdepan Siahkal, sejumlah anggota aktif organisasi Marxis Feda’iyani-i Khalq diringkus oleh pihak keamanan di Teheran dan Gilan. Pada 16 Maret 1971, pemerintah mengeluarkan nama tiga belas orang yang menghadapi regu tembak, yang dituduh terlibat dalam pemberontakan Siahkal.[60] Ini menandai awal dan akhir gerakan pemberontakan bersenjata yang bertujuan membangkitkan rakyat untuk berontak melawan rezim Pahlevi. Sebagaimana keberanian serangannya, kegagalan dramatisnya memperliatkan sia-sianya menerapkan taktik Revolusi Kuba atau Cina pada kondisi sosial di Iran.

Aktivitas militer Mojahedin-I Khalq mengikuti operasi Siahkal. Mojahedin meluncurkan serangkaian serangan berani atas sasaran sensitif seperti bendungan dan instalasi listrik, untuk mensabotase perayaan Syah. Selama akhir musim panas dan awal musim gugur 1971, SAVAK meringkus 105 orang yang dicurigai sebagai anggota sebuah organisasi gerilya kota, yang nama, ideologi dan tujuannya sangat tidak jelas bagi mereka pada masa itu. Di antara mereka yang ditahan, enam puluh sembilan diadili selama musim semi 1972, Muhammad Hanifnejad, Saeed Mohsen, ‘Ali Asghar Badi’zadegan, pendiri Mojahedin-I Khalq, bersama enam anggota Komite Sentral (Cadr-e Markazi) dari organisasi itu, dieksekusi pada April dan Mei 1972.[61]

Tidak hanya kelompok kecil militan-radikal seperti Marxis Feda’iyani-i Khalq dan Mojahedin-I Khalq yang melakukan tindakan perlawanan (oposisi) terhadap kekuasaan Syah, tetapi oposisi itu juga muncul dari kelompok aktivis politik Islam. Salah satunya adalah yang dipimpin oleh Ayâtullah Kasyani,[62] yang menyerukan pencabutan undang-undang sekular Syah dan pelaksanaan hukum Islam. Namun, kekuatan politik terbesar yang tampil menentang rezim Syah adalah Front Nasional pimpinan Mohammad Mossadeq, yang mencerminkan kekuatan nasionalisme modern yang lebih sekular pada waktu itu. Kelompok-kelompok Islam menjadi bagian dari kubu oposisi yang pada dasarnya dipimpin oleh Mossadeq.[63]

Seperti dalam protes Tembakau, Mossadeq yang menghimpun koalisi menentang tindakan Syah memberikan konsesi minyak kepada Inggris dan ketergantungan ekonomi Iran, serta menyerukan langkah nasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company milik Inggris.[64] Sebagaimana telah disebut di muka, pertikaian ini mengakibatkan Syah lari ke pengasingannya di Roma pada 1953. Namun, dia kembali ke Iran enam hari berselang dengan bantuan dari Inggris dan, terutama Amerika Serikat.

Pada 1962-1963, Ayâtullah Khomenei tampil sebagai suara anti-pemerintah di antara minoritas ulama vokal yang menganggap Islam dan Iran tengah terancam bahaya dan kekuasaan mereka melemah, dan yang mendukung keterlibatan politik kaum ulama. Program modernisasi Barat yang dijalankan Syah (terutama pembaharuan hukum pertanahan dan hak suara bagi kaum perempuan) dan ikatan erat Iran dengan Amerika Serikat, Israel dan perusahaan-perusahaan multinasional, dipandang sebagai ancaman bagi Islam, kehidupan Muslim dan kemerdekaan nasional Iran. Dari mimbarnya di Qum, Khomeini menjadi suara oposisi yang tidak mengenal kompromi melawan kekuasaan mutlak dan “pemerintahan” atau pengaruh asing.


“The Government has sold our independence, reduced us to the level of a colony, and made the Muslim nation of Iran appear more backward than savages in the eyes of the world! … If the religious leader have influence, they will not permit this nation to be the slaves of Britain one day, and America the next … the will not permit Israel to take over the Iranian Economy; they will not permit Israel goods to be sold in Iran – In fact to be sold duty-free! … Are we to be trampled undefoot by the boots of America simply because we are a week nation and have no dollars? America is worse than Britain; Britain is worse than America. The Soviet Union is worse than both of them … But today it is America than we are concerned with.” (Pemerintah telah menjual kemerdekaan kita, merendahkan derajat kita sehingga kita menjadi bangsa terjajah, dan membuat rakyat Muslim Iran tampak lebih terbelakang dibandingkan bangsa-bangsa biadab di mata dunia! … Jika para pemimpin agama mempunyai pengaruh, maka mereka pasti tidak akan membiarkan bangsa ini, maka mereka pasti tidak akan membiarkan bangsa ini menjadi budak Inggris pada suatu hari nanti, dan budak Amerika pada hari berikutnya … mereka tidak akan membiarkan Israel mengambil alih ekonomi Iran, mereka tidak akan membiarkan barang-barang Israel dijual di Iran, malah dijual bebas pajak! … Apakah kita mau diinjak-injak oleh sepatu Amerika semata-mata karena kita bangsa yang lemah yang tidak punya dolar? Amerika itu lebih buruk daripada Inggris, Inggris lebih buruk daripada Amerika. Uni Soviet lebih buruk dari keduanya … Akan tetapi, kini Amerikalah yang menjadi perhatian kita”.) [65]


Bentrokan-bentrokan yang terjadi di Qum (22 Maret 1963) dan Mashad (3 Juni 1963) menyebabkan Khomeini ditahan pada 4 Juni 1963, dan demonstrasi-demonstrasi rakyat yang dipimpin oleh ulama di kota-kota besar ditumpas dengan kejam. Khomeini diasingkan ke Turki pada 1964, lalu pindah ke Irak pada 1965 dan kemudian ke Prancis pada 1968.[66] dari pengasingannya dia terus mengajar, menulis –misalnya Hokumât-i Islami[67]- dan berbicara lantang menentang Syah dan mengutuk kebijakan-kebijakannya yang “tidak Islami”. Kaset-kaset dan pamflet-pamflet berisi pidato Khomeini diselundupkan ke Iran dan disebarluaskan melalui masjid-masjid. Ideologi Islamnya bersifat holistik, menampilkan Islam sebagai sebuah jalan hidup yang menyeluruh dan sempurna, yang dapat memberi tuntunan dalam kehidupan sosial politik. Meskipun didasarkan pada oposisi ulama tradisional yang telah berlangsung lama untuk menggulingkan kekuasaan monarki, namun pada kenyataannya seruan-seruan tersebut mengandung banyak inovasi. Dalam hal ini seruan Khomeini merupakan ungkapan pertanggung jawaban ulama yang paling radikal.

Ulama lainnya yang juga turut menyuarakan gema reformasi di kalangan umat agar lebih bersikap lebih kritis terhadap kekuasaan Syah adalah Mehdi Bazargan.[68] Dalam pidatonya pada tahun 1962, ia menyatakan bahwa keterlibatan ulama secara aktif dalam politik dapat dicari landasannya dalam al-Qur’an dan tradisi keagamaan Syi’ah. Ia juga mengatakan bahwa organisasi politik dan perjuangan kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik merupakan tugas dan kewajiban setiap pemeluk Islam. Sekarang, Bazargan menambahkan, ulama tidak pantas lagi menanti secara pasip kembalinya Sang Imam, melainkan harus secara aktif mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam reformasi masyarakat itu.[69]

Apa yang dikatakan Mehdi Bazargan itu merupakan revolusi dalam pemikiran politik Syi’ah. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah Syi’ah, bahwa ajaran Syi’ah lebih menekankan pada aspek quetisme, yaitu kecenderungan untuk bersikap pasif secara politik dan lebih mengedepankan pola hidup keberagamaan yang asketic. Quetisme Syi’ah ini muncul pertama kali pasca peristiwa Karbala, saat terbunuhnya Imam Husein dan keluarganya. Pasca peristiwa itu secara berturut-turut kelompok Syi’ah mendapat tekanan dari pihak penguasa sampai akhirnya memaksa mereka untuk bersikap diam dan pasif demi untuk menjaga esistensi mereka. Sikap diam dan pasif ini mendapatkan basis spiritualitas setelah Imam kedua belas dinyatakan pergi secara ghaib dan menjadi Imam Mahdi. Masa-masa menunggu Imam Mahdi ini lebih banyak digunakan untuk menjalani pola hidup asketic ketimbang terlibat aktif dalam kehudupan politik.

Klaim keagamaan menjadi basis bagi sebuah gerakan massa dalam menentang rezim Syah. Pada rentangan dekade 1970-an rezim Pahlevi menjadi semakin sewenang-wenang dari masa-masa sebelumnya. Pasukan militer dan polisi rahasia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan sekaligus dibenci lantaran mereka melancarkan penyidikan, intimidasi, pemenjaraan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap musuh-musuh besar rezim Syah. Di antara mereka yang sempat mengalami hal itu adalah Ahmadzadeh, pendiri Marxis Feda’iyani-i Khalq, yang menghadapi regu tembak pasukan Syah pada tanggal 8 Maret 1972. Ada pula Hamid Takovali dan Saeed Ariyah, keduanya tokoh Marxis Feda’iyani-i Khalq, yang dibunuh oleh pasukan keamanan pada musim dingin 1971/1972.[70]

Pemerintah, oleh para oposan, tidak hanya dicaci karena kediktatorannya melainkan juga karena rezim tidak mampu mengelola perekonomian dengan baik. Penghasilan negara yang sangat besar dari sektor minyak habis untuk membeli senjata[71] dan untuk kepentingan pribadi sekelompok kecil elit pemerintah, sementara laju inflasi memerosotkan standar kehidupan sebagaian besar pedagang, artisan (pengrajin) dan buruh pabrik. Sebagian besar warga penduduk hidup dalam kesengsaraan khusnya disebabkan penyitaan, denda, dan pemenjaraan. Pada saat yang bersamaan, dekade 1970-an adalah merupakan periode paceklik bagi sebagain besar masyarakat petani. Jutaan petani meninggalkan kampungnya untuk pindah ke kota, di mana mereka membentuk barisan massa pengangguran dan massa yang tertindas.

Sepanjang 1970-an, oposisi terhadap Syah semakin berkembang. Tidak adanya partisipasi politik, melemahnya otonomi nasional karena ketergantungan yang semakin besar terhadap Barat, dan hilangnya identitas religio-budaya dalam masyarakat yang berkiblat ke Barat, menumbuhkan kekecewaan bersama yang melintasi perbedaan politik dan agama. Isu-isu menyangkut keyakinan dan identitas, partisipasi politik, dan keadilan sosial menjadi wacana bersama gerakan oposisi yang semakin meningkat. Para ulama banyak didatangi kaum cendekiawan sekuler maupun sendekiawan yang berorientasi Islam, yang pendapat-pendapatnya sangat berpengaruh di kalangan intelektual dan mahasiswa. Terutama, dari sudut pandang sejarah, seruan mereka mengenai bahaya alienasi budaya nasionalisme Iran telah mendapat tanggapan luas di banyak kalangan, baik sekular maupun religius, tradisionalis maupun modernis, kaum awam maupun ulama.

Wakil dari kelompok intelektual sekular yang memperingatkan bahaya yang mengancam Iran karena terlalu terpaku pada barat adalah datang dari mantan anggota partai Tudeh (Partai Komunis Iran), Jalal-e Ahmad. Ia mengatakan bahwa “westsrtuckness” (bahaya yang dibawa arus pembaratan) itu seperti penyakit kolera, karena penyakit itu sama buruknya dengan hama serangga di ladang gandum. Lebih lanjut Jalal-e mengatakan, bahwa bangsa Iran bagaikan bangsa yang diasingkan dari dirinya sendiri, dari cara berpakaiannya, model rumahnya, jenis makanan dan bacaannya, dan yang paling berbahaya di antara semua itu, adalah pendidikan Iran. “Kita menjalankan pelatihan Barat, kita menjalankan pemikiran Barat, dan kita mengikuti prosedur Barat untuk memecahkan setiap masalah”, kata Jalal-e Ahmad.[72]

Jika Jalal-e Ahmad adalah wakil cendekiawan sekular yang mengecam westernisasi yang tengah terjadi di Iran, maka Dr. Ali Syari’ati, seorang cendekiawan lulusan Sorbonne, adalah wakil cendekiawan yang berorientasi Islam yang menyuarakan sama seperti yang disuarakan Jalal-e Ahmad. Tafsir reformis Ali Syari’ati atas Islam Syi’ah telah menggabungkan sikap anti-imperialisme Dunia Ketiga, bahasa ilmu sosial Barat, dan ajaran Syi’ah Iran untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revolusioner bagi reformasi sosial politik. Demikianlah, Syari’ati juga sangat mengecam “weststruckness”. Ia mengajak masyarakat Iran untuk meninggalkan budaya Eropa (Barat), karena menurutnya, Barat selalu membicarakan kemanusiaan, tetapi kenyataannya telah menghancurkan umat manusia di mana pun mereka menemukannya.[73]

Tafsir ulang (reinterpretation) Ali Syari’ati atas Islam, sebagaimana teologi pembebasan Katholik di Amerika Latin, telah menggabungkan agama dengan pandangan sosialis Dunia Ketiga baik dari Che Guevara maupun Frantz Fanon. Syari’ati menakankan bahwa keruntuhan imperialisme Barat di Iran menuntut pernyataan identitas nasional dan religio budaya Islam Iran. Fokus ganda visi revolusionernya adalah persatuan/identitas nasional dan keadilan sosial untuk melepaskan diri dari cengkraman imperialisme dunia, termasuk perusahaan-perusahaan multinasional, dan imperialisme budaya, rasisme, eksploitasi kelas, perbedaan kelas, dan gharbzadegi (weststruckness).

Kondisi politik di Iran di bawah rezim Syah, menurut Syari’ati, sebagai negara jajahan Barat (weststruckness), negara yang tidak lagi mempunyai identitas dan mengalami pembaratan dalam segala bidang kehidupan.[74] Pembaratan yang dimaksud Syari’ati adalah berbagai proyek modernisasi yang telah dilakukan oleh rezim Syah dalam segala segi kehidupan masyarakat dan bangsa Iran. Modernisasi itu meliputi pembaharuan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, pertahanan keamanan yang “Barat centris” sehingga ujung-ujungnya adalah sekularisasi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Iran. Walaupun Iran secara formal menegaskan jati dirinya sebagai negara yang berdasar Islam-Syi’ah, akan tetapi dalam realitas sehari-harinya sangatlah jauh dari prinsip-prinsip nilai dasar (Basic values principles) Islam.

Kesempatan Syari’ati untuk melancarkan kritik yang sangat keras terhadap rezim Syah adalah pada saat Syah merayakan 2500 tahun pemerintahan monarki di Iran, di makam Cyrus yang Agung di Persepolis. Hadir dalam kesempatan tersebut para Kepala Negara dari berbagai negara sahabat dan para tokoh terkemuka yang sengaja dihadirkan Syah untuk melihat betapa kekuasaan Syah mewarisi keagungan Cyrus sang pendiri kerajaan di Persia (Iran). Syah juga ingin memperlihatkan para hadirin akan kesuksesan Iran membangun negerinya berbasis modernisme Barat dan kekuatan militer di bawah dinasti Pahlevi. Syari’ati dalam kesempatan yang sama menyampaikan ceramah di hadapan 5000 pendukungnya di Husseiniyeh Ersyad, mengingatkan pendukungnya bahwa Iran, selama 5000 tahun berada dalam situasi ketidakadilan, penindasan, diskriminasi kelas, serta perampasan. Sekarang tibalah saatnya, seru Syari’ati, Rakyat Iran bangkit untuk melawan dan meruntuhkan sistem ekonomi dan politik, yang di puncaknya Syah berdiri.[75]

Gagasan dan pandangan Mehdi Bazargan, Jalal-e Ahmad, dan Ali Syari’ati mempengaruhi satu generasi mahasiswa dan cendekiawan. Mereka berasal dari kalangan tradisional dan kelas menengah modern dan banyak dari mereka yang lulusan universitas-universitas sekular di bidang sains dan teknik. Sebagian besar berasal dari perkotaan atau mereka yang berasal dari desa-desa yang telah berpindah ke kota untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan pekerjaan sebagai akibat program modernisasi Syah. Para mahasiswa dan profesional muda yang berorientasi Islam bergabung dengan kaum ulama, santri dan pedagang, sehingga yang muncul dalam gelombang perlawanan rakyat terhadap Syah adalah mewakili spektrum ideologi yang dan profesi yang luas, meliputi; penulis, penyair wartawan, profesor dan mahasiswa, kelompok nasionalis liberal dan marxis, kaum sekularis, tradionalis, dan moderrnis Islam.

Berbagai gelombang oposisi yang dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat sebagai respon terhadap berbagai kebijakan rezim Syah, ditanggapi oleh rezim dengan tindakan-tindakan represif. SAVAK mempunyai andil yang cukup besar dalam upaya-upaya untuk membungkam para pembangkang, sehingga rezim Syah semakin tergantung kepadanya. Kondisi ini memberikan alasan bagi semakin menggeser gerakan oposisi yang didukung rakyat luas, dari berwatak reformis menjadi revolusioner. Islam Syi’ah kemudian tumbuh sebagai sarana paling aktif yang berakar kuat di kalangan rakyat untuk memobilisasi di kalangan massa yang efektif. Ia menawarkan kesadaran bersama tentang sejarah, identitas, lambang-lambang, dan nilai-nilai. Syi’ah menawarkan suatu kerangka ideologi yang memberi makna dan legitimasi bagi gerakan oposisi dari kaum tersisih dan tertindas, yang dengannya berbagai fraksi menemukan citra diri dan di dalamnya mereka dapat berfungsi. Sistem ulama-masjid melahirkan kepemimpinan dan organisasi religio-politik, jaringan pusat-pusat komunikasi dan aksi politik berskala nasional, serta memunculkan pemimpin-pemimpin yang berakar di kalangan rakyat. Para ulama seperti Ayâtullah Khomeini,[76] Muthahhari, Taleqani,[77] dan Bahesti,[78] bersama para cendekiawan seperti Mehdi Bazargan dan Ali Syari’ati, telah mengembangkan ideologi pembaharuan dan revolusioner yang bersifat Islami. Terpengaruh oleh tulisan-tulisan para aktivis Islam Sunni seperti Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb dari Ikhwan al-Muslimin di Mesir, Maulana Abu al-A’la Maududi dari Jamaat-i Islami, dan Muhammad Iqbal dari Pakistan, mereka melakukan penafsiran ulang atas sejarah dan keyakinan Syi’ah untuk menaggapi kondisi setempat yang mereka hadapi.

Pola aliansi kaum ulama dan cendekiawan, atau masjid-kampus, di bawah panji-panji Islam dibangkitkan kembali pada akhir 1970 dan menemukan momentum yang tepat untuk menjadi kekuatan revolusi mulai tahun 1977 sampai 1979. Aliansi tersebut memberikan legitimasi agama dan keaslian budaya (religion-state-culture identity), serta menumbuhkan sumber-sumber ekonomi yang mandiri. Isu-isu menyangkut dominasi asing, pelestarian identitas dan otonomi nasional, konstitualisnme, dan kedudukan hukum Islam dalam negara, dimunculkan sebagai isu untuk melawan rezim Syah. Ulama dalam hal ini, berbeda saat Revolusi Tembakau maupun Revolusi Konstitusional, tidak sekedar berpartisipasi, tetapi langsung memimpin Revolusi 1979 untuk menggulingkan rezim Syah.


C. Peristiwa Revolusi Iran

Tanda-tanda kejatuhan Dinasti Pahlevi mulai terlihat pada awal tahun 1977. Pada saat itu, Presiden Amerika yang baru dilantik, Jimmy Charter, menjadikan isu Hak Asasi manusia sebagai arah dalam kebijakan luar negerinya. Iran sebagai salah satu sekutu Amerika harus menerima kebijakan itu kalau ingin bantuan Amerika kepada Iran pada sektor ekonomi dan militer tetap berlanjut. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau, rezim Syah harus mengikuti kebijakan Amerika karena secara faktual Iran sangat tergantung kepada Amerika. Pada Pebruari 1977, Syah melepaskan 357 tahanan politik. Sayangnya, kebijakan yang cukup populer ini tidak diikuti dengan kesungguhan Syah untuk mengungkap segala penyiksaan dan penindasan yang telah ia lakukan terhadap para lawan politiknya. Pada sisi lain, isu HAM yang dihembuskan Amerika, memicu para jurnalis untuk menuntuk kebebasan berpendapat dan pers. Para pengacara juga menuntut dihapuskannya pengadilan militer yang biasa digunakan untuk mengadili para narapidana politik. Sebagian kelompok massa lain menggelar demonstrasi untuk menuntut diakhirnya rezim Syah yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran HAM berat selama berkuasa. Massa demonstran pun bentrok dengan polisi yang mengakibatkan banyak peserta demonstrasi tertembak aparat. Kemudian, kelompok pengacara yang berjumlah 120 orang mempublikasikan kejadian tersebut yang diduga keras didalangi oleh SAVAK. Tim independen yang terdiri dari pada akademisi pun dibentuk untuk mengusut kasus itu sekaligus mengusut pula aneka kekejaman yang dilakukan oleh SAVAK pada masa-masa yang lalu. Atas perkembangan ini, Syah semakin keras menekan dan mengintimidasi baik para pengacara maupun anggota tim tersebut.[79]

Di akhir bulan Oktober 1977, di kota Najaf, putra Imam Khomenei, Mustafa,[80] ditemukan tewas di tempat tidurnya. Pihak pemerintah melarang dilakukan otopsi terhadap jenazah Mustafa, sehingga siapa pembunuhnya menjadi misteri. Tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang membunuh adalah pihak SAVAK. Kejadian ini menjadikan para mahasiswa di Qum yang berjumlah 4000 orang melancarkan aksi demonstrasi pada Januari 1978. Para aparat kepolisian pun bertindak represif. Mereka menyerang para demonstran dengan senjata sehingga sejumlah tujuh puluh demonstran meninggal.[81]

Demonstrasi yang dilancarkan para mahasiswa di Qum melawan aksi pembunuhan tanpa sebab yang dilakukan oleh pasukan SAVAK menjadi pemicu gerakan massa yang lebih revolusioner. Polisi sekali lagi bertindak represif dengan menembaki para demonstran sehingga memancing gelombang demonstrasi berikutnya yang lebih besar. Para demonstran itu mengutuk tindakan aparat keamanan rezim yang beringas sambil mengelukan para korban yang berguguran selama ini.

Setiap hari dalam empat puluh hari terjadi gerakan protes dan demonstrasi dan skalanya semakin besar, hingga mencapai puncaknya pada 10 Muharram, bertepatan dengan 1 Desember 1978. Saat itu ratusan ribu orang turun ke jalan memperingati terbunuhnya Imam Husein di padang Karbala. Sambil berteriak “Allahu Akbar” terus menerus, dari masjid-masjid, rumah-rumah dan jalan-jalan di berbagai wilayah diiringi dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari jabatannya. Demonstrasi yang sebenarnya adalah upacara ritual berubah menjadi kerusuhan setelah tentara memblokir jalan-jalan dan menembaki para demonstran. Versi pemerintah jumlah korban dalam kerusuhan itu hanya ratusan orang saja, tetapi menurut orang-orang Teheran, korban tewas mencapai 4000 orang lebih.[82]

Hampir seluruh rakyat Iran yang terdiri dari berbagai latar belakang dan faksi politik bersatu dalam aksi-aksi demontrasi itu. Kelompok sekuler yang antara lain direpresentasikan oleh Front Nasional dan para anggota Partai Tudeh bersinergi dengan kelompok yang berorientasi Islam yang direpresentasikan oleh para pendukung Imam Khomenei maupun Ali Syari’ati. Para buruh dan pekerja profesional, guru dan siswa, dosen dan mahasiswa, petani dan nelayan, semuanya saling bahu-membahu tidak putus-putusnya selama tahun 1978 sampai Pebruari 1979 melancarakan aksi-aksi kolosal menentang Syah.

Imam Khomenei terus memompa semangat perlawanan di tempat pengasingannya di Paris. Ia secara rutin mengirim pidato-pidato politik yang berisi kecaman-kecaman terhadap Syah untuk membakar semangat massa dalam melakukan perlawanan terhadap rezim. Pidato-pidatonya itu dikirim dalam bentuk rekaman kaset maupun pamflet yang dibawa ke Iran oleh para agen Khomeini. Sang Imam memang saat itu benar-benar menjadi idola yang dielu-elukan pada demonstran, apalagi setelah tokoh muda pembakar semangat perlawanan, Ali Syari’ati meninggal dunia pada tahun 1977.[83] Sehingga praktis tinggal Khomenei yang menjadi tumpuhan harapan sebagai tokoh perlawanan.[84]

Kematian Ali Syari’ati sendiri memicu semangat perlawanan dari para pendukungnya yang menuduh rezim Syah lewat agen rahasianya, SAVAK, berada di balik kematian ini. Respon atas kematian Ali Syari’ati tidak hanya di dalam negeri Iran tetapi juga di luar negeri. Di Paris, pada satu peringatan kematian Syari’ati, dengan diorganisisir oleh anggota keluarga Syari’ati dan teman-teman seperjuangannya, telah berubah menjadi peristiwa politik anti-Syah yang sukses dan efektif. Gambar besar Ali Syari’ati, Khomeini, Mossadeq, Taleqani dan Montazeri, bersama gambar para pendiri Mojahedin, diusung oleh para peserta prosesi peringatan. Di Rumah Imam Musa Sadra, setelah peringatan di Sekolah Menengah Atas Ameliat, para partisipan dari Iran yang antara lain Sadeq Thabataba’i, Gadbzadeh, Chamran, Qarazi, Do’a’i dan Muhammad Montazeri, memutuskan mempertahankan momentum politik yang telah tercipta berkat berbagai peristiwa menyusul kematian Syari’ati.[85]

Kelas pekerja atau buruh mempunyai peran yang cukup signifikan dalam serangkaian aksi menentang Syah tahun 1978-1979. Ekonomi Iran yang sangat sukses mendorong penguatan kolosal dari kaum pegawai dan buruh. Meningkatnya pendapatan minyak bumi mendorong suatu kemajuan yang menakjubkan dalam industri Iran, yang terakselerasi setelah lompatan harga minyak tahun 1973. Produksi Kotor Nasional (Gross National Product/GNP) naik hingga 33,9 persen pada tahun 1973 – 1974, dan pada tahun 1974 – 1975 adalah 41,6 persen jauh lebih tinggi. Industri juga meningkat dengan pesat, dan berikut ukuran serta kekuatan dari kelas pekerjanya. Maka, dengan kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, rezim dalam hal ini telah mempersiapkan lubang kuburnya sendiri dalam wujud munculnya kaum buruh Iran yang kuat. Bukan hanya karena kelas pekerja telah berkembang sedemikian besar, tetapi juga karena mereka begitu segar dan muda. Akan tetapi, sejalan dengan luapan pertumbuhan industri yang pesat, segala kontradiksi sosial menjadi terus-menerus menajam. Inflasi melonjak cukup tinggi dan menjadi alasan bagi timbulnya peristiwa kerusuhan kolosal tahun 1977. Dalam kondisi kesulitan hidup masyarakat yang memuncak, pemerintah di tahun 1976 mengumumkan adanya program penghematan (pengencangan ikat pinggang). Ketika Syah memutuskan untuk menghentikan program pembangunan, proyek-proyek ekspansi industri dipotong hingga 40 persen. Kebijakan itu sendiri memiliki arti bahwa lebih dari 40 persen tenaga tidak terampil dan 20 persen tenaga terampil tergusur oleh pemutusan hubungan kerja. Seiring dengan membubungnya tingkat pengangguran, gaji pun merosot drastis dan pemerintah menarik kembali keuntungan yang sebelumnya telah diberikan kepada buruh. Reaksi dari kelas pekerja disalurkan dalam gerakan aksi mogok yang terus menguat terjadi di Abadan dan BehSyahr. Para buruh tekstil menuntut kenaikan upah dan insentif.[86]

Aksi buruh yang sangat memukul ekonomi Iran adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja di kilang minyak. Aksi ini menyebabkan kerugian sampai ratusan jutaan dollar. Pihak Syah sendiri mengancam akan menembak di tempak para pekerja jika mereka melakukan aksi serupa, tetapi ancaman ini tidak digubris para pekerja dan mereka terus melakukan aksi-aksinya. Aksi ini meluas diantara para pekerja yang berada di sektor lain, seperti sopir, buruh kasar, petugas transportasi, sampai akhirnya para dokter dan perawat ikut terlibat dalam aksi mogok.[87]

Secara detail aksi para buruh di atas dilandasi oleh peristiwa tanggal 8 September 1978 yang juga disebut sebagai Jumat Kelabu. Saat itu para aparat keamanan melakukan pembantaian atas ribuan demonstran di Teheran. Sebagai jawabannya, para buruh melakukan pemogokan. Pemogokan itu adalah percikan yang menyulut dinamit yang telah terpasang di seluruh pelosok negeri. Pada tanggal 9 September 1978, para pekerja kilang minyak di Teheran mengeluarkan seruan pemogokan untuk mengungkapkan solidaritas terhadap pembantaian yang dilakukan sehari sebelumnya dan menentang diberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya. Tepat pada keesokan harinya, pemogokan telah menjalar luas seperti api yang tidak bisa dijinakkan ke Shiraz, Tabriz, Abdan dan Isfahan. Para buruh penyulingan minyak melakukan mogok dimana-mana. Tuntutan ekonomi dari kaum buruh dengan cepat dirubah menjadi tuntutan politik: “Turunkan Syah!” “Bubarkan SAVAK!”, “Marg Ber, imperialis Amerika!” Kemudian pekerja minyak Ahwaz mengadakan mogok, diikuti oleh buruh non-minyak di Khuzistan yang bergabung dengan pemogokan pada akhir September. Di atas segalanya, gerakan para buruh minyaklah yang kemudian disebut sebagai kelompok istimewa dari kelas pekerja di Iran, yang paling menentukan dalam penggulingan rezim. Ketika ritme gerakan mogok diperhebat dan diperpanjang, karakternya juga mulai berubah. Semua bidang-bidang kerja baru pun ditarik ke dalam perjuangan: para pekerja dari sektor publik-guru, dokter, karyawan rumah sakit, pegawai kantor, pegawai di kantor pos, perusahaan telepon dan stasiun televisi, serta para pegawai dari perusahaan tansportasi, jalan kereta api, bandar udara domestik dan bank semua bergabung dengan gelombang raksasa yang tengah bergolak. [88]

Pemogokan di Bank Sentral Iran berdampak sangat efektif melumpuhkan ekonomi Iran. Hal ini diikuti dengan pembakaran ratusan bank oleh massa yang telah kalap oleh amarah. Ketika pegawai bank melakukan mogok, mereka mengungkapkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, seribu juta dollar telah dilarikan ke luar negeri oleh 178 anggota elit pemerintahan, termasuk keluarga Syah. Syah yang sedang sibuk mengadakan persiapan untuk sebuah pengasingan yang nyaman, telah mengirimkan keluarganya ke luar negeri, dan mentransfer satu milyar dollar ke Amerika (ini adalah tambahan dari satu milyar dollar atau lebih yang disimpan di Bonn, Swiss dan di bagian dunia lainnya).[89]

Sebagaimana telah di tulis di muka, gelombang pasang pemogokan telah melumpuhkan mesin kenegaraan; para pegawai negeri juga melakukan aksi mogok. Akan tetapi pemogokan buruh minyak yang hebat selama tiga puluh tiga harilah yang hampir melumpuhkan segalanya. Fakta ini dengan sendirinya memperlihatkan kekuatan kolosal dari kaum proletar Iran: satu pemogokan tunggal barisan buruh minyak menyebabkan pemerintah menelan kerugian tidak kurang dari tujuh puluh empat juta dollar perhari berupa pendapatan yang hilang. Buruh minyak bumi telah memotong urat nadi utama penyalur pendapatan negara.

Gambaran atas revolusi yang terjadi di Iran, mengingatkan banyak orang akan peristiwa serupa yang telah terjadi di Prancis[90], China[91], Kuba[92], dan Rusia[93]. Gerakan revolusi yang telah mereka lakukan mempunyai pola yang kurang lebih sama. Dimulai dengan adanya pemimpin yang otoriter dan absolut, kemudian muncul perlawanan dari kelompok yang selama ini paling disengsarakan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang dhalim. Dalam hal ini Leon Trotsky menulis dalam Sejarah Revolusi Rusia:

“The most indubitable feature of a revolution is the direct interference of the masses inhistoric events. In ordinary times the state, be it monarchical or democratic, elevates itself above the nation, and history is made by specialists in that line of business—kings, ministers, bureaucrats, parliamentarians, journalists. But at those crucial movements when the old order becomes no longer endurable to the masses, they break over the barriers excluding them from the political arena, sweep aside their traditional representatives, and create by their own interference the initial groundwork for a new regime. Whether this is good or bad we leave to the judgement of moralists. We ourselves will take the facts as they are given by the objective course of development.The history of a revolution is for us first of all a history of the forcible entrance of the masses into realm of rulership of their own destiny.”

(Fitur sebuah revolusi yang paling tidak bisa diragukan adalah interferensi langsung oleh rakyat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Pada saat-saat biasa, negara, apakah itu berbentuk monarkhi ataupun demokrasi, mengangkat dirinya sendiri di atas bangsa, dan sejarah dibuat oleh para spesialis dalam urusan semacam itu – raja, para menteri, birokrat, anggota parlemen, wartawan. Namun pada gerakan krusial itu, ketika tatanan yang lama tidak lagi bisa diterima oleh masyarakat, maka mereka akan menghancurkan hambatan yang membatasi mereka dari arena politik, mengesampingkan wakil tradisional mereka, dan menciptakan, dengan interferensi mereka sendiri, landasan kerja awal bagi sebuah rezim baru. Apakah hal ini baik atau buruk, kita serahkan penilaiannya kepada para moralis. Kita sendiri akan mengambil kenyataan sebagaimana yang mereka berikan dengan tingkat perkembangan yang obyektif. Sejarah sebuah revolusi bagi kita adalah menjadi prioritas dari yang lainnya, sebuah sejarah masuknya masa yang tidak bisa dihindarkan ke dalam tataran pemerintahan yang diperuntukkan bagi nasib mereka sendiri.”)[94]


Basis material dari Revolusi Iran terletak pada kemajuan kekuatan-kekuatan produktif dan perubahan yang telah dilakukan dalam kapitalisme Iran di seluruh periode sebelumnya. Syah kehilangan dukungan dari segenap kelompok massa, kaum petani, intelektual, kelas menengah dari berbagai lapisan dan kelompok yang paling berhawa jahat, tentara. Negara sendiri terguncang oleh kerasnya pukulan gerakan yang dilancarkan massa. Hari demi hari demonstrasi terus menerus dan mobilisasi massa yang telah jauh melanggar batas kehidupan normal. Massa menyerang kedutaan Inggris dan Amerika sembari membakar ribuan bendera Amerika. Boneka patung Presiden AS Jimmy Carter dan Syah digantung ribuan kali menghiasi setiap pojok jalan setiap kota Iran. Syah menjadi simbol dari bercokolnya tatanan yang dibenci dan represi SAVAK yang berdarah.[95]

Negara dalam analisis paling mutakhir, sebagaimana yang diterangkan oleh Marx dan Lenin, terlengkapi dengan lembaga angkatan bersenjata berupa barisan tentara dengan segenap peralatan dan senjata mereka.[96] Dalam setiap masyarakat kelas, komposisi tentara dibentuk dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam, dan merefleksikannya secara, kurang lebih, jujur. Di masa-masa biasa, angkatan bersenjata bercokol tak tertandingi, tak tertembus dan kompak. Bagaimanapun juga, selama masa revolusi, ketika angkatan bersenjata mengalami stres dan ketegangan yang hebat, maka dengan segera keretakan dan patah struktur mereka akan tampak membayang, dan akhirnya cenderung membelah sesuai dengan garis kelas pada momentum-momentum revolusi yang krusial. Kerekatan di tubuh tentara bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi, tergantung pada intensitas tekanan dari gerakan massa.

Seperti yang telah disaksikan oleh umat manusia dalam setiap revolusi di sepanjang sejarah, angkatan bersenjata bisa beralih mendukung ke pihak rakyat. Tendensi di dalam tubuh angkatan bersenjata untuk mengalami perpecahan sesuai dengan garis kelas, adalah proporsional dengan polarisasi dalam masyarakat kelas, manakala rakyat berjuang merebut kekuasaan negara. Sebuah artikel dalam majalah Amerika, Newsweek, berkomentar tentang barisan massa penuh amarah yang telah berkumpul di Jaleh Square bereaksi menentang diberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya dengan meneriakkan slogan-slogan’ yang menentang rezim:

“When they came close, the armed forces ordered the demonstrators to disperse but instead of retreating, the demonstrators disobeyed the order and went on to cross the warning line, slowly choking from teargas fumes, but unwilling to go back. Finally the troops raised their guns, firing bursts into the air, but even then the mob edged closer to the ranks of the troops. And the troops lowered their sight and, when the crowd kept coming, sprayed the demonstrators with round after round.”Splits in the army on class lines do not arise as a simple process but, on the contrary, pass through a series of processes, leading to inner differentiation. The lower ranks of the armed forces tries to gauge the attitude of the masses, observing their commitment, their utter decision to go to the very end to change the old order, their heroic scarifies. At this juncture, once the soldiers realise that the masses are in earnest, they refuse to obey the orders of their officers and join the ranks of the masses, taking weapons with them. And this was exactly what happened in Iran. When thousands of mourners marched to the gate of Teheran’s Besheste Zahra cemetery shouting slogans against the Shah attacked an armoured car, a major came out and shouted: “We have no intention of killing you! You are our brothers!” and offered his weapon to the mob: “Here, take my gun and kill me if you wish!” The mourners cheered and shouted slogans of unity against regime.

(Ketika mereka telah mendekat, tentara memerintahkan para demonstran untuk membubarkan diri, tetapi bukannya mundur, para pengunjuk rasa malah mengabaikan perintah dan terus maju melewati garis peringatan, perlahan-lahan tersedak karena asap gas air mata, tetapi tidak mau kembali. Akhirnya para serdadu mengangkat moncong senjata mereka, menembakkan tembakan peringatan ke udara, meski demikian kerumunan bahkan semakin mendekati pagar betis prajurit tersebut. Dan para tentara menurunkan pandangan mereka dan, ketika kerumunan tersebut terus bergerak maju, maka menghamburlah para demonstrator dengan berondongan demi berondongan peluru. Perpecahan dalam tubuh tentara sesuai dengan garis kelas tidak muncul dengan proses yang sederhana, tetapi sebaliknya, melalui serangkaian proses, yang mengarah kepada diferensiasi di dalam. Tentara tingkat terbawah mencoba untuk mengira-ngira perilaku massa, sembari menjalankan komitmen mereka, melaksanakan keputusan bulat mereka untuk menjalani hingga akhir untuk mengganti perintah ketua mereka, dengan ketersinggungan mereka. Tepat di persimpangan ini, begitu para serdadu menyadari bahwa massa bersungguh-sungguh, mereka menolak untuk mematuhi perintah dari perwira dan bergabung dengan rakyat, dan mengangkat senjata bersama-sama. Dan inilah apa yang sesungguhnya terjadi di Iran. Ketika ribuan orang pelayat berarakan menuju gerbang pemakaman Beheste Zahra di Teheran, meneriakkan slogan-slogan menentang Syah, dan menyerang sebuah kendaraan lapis baja, seorang mayor keluar dan berteriak: “Kami tidak mempunyai keinginan untuk membunuh kalian! Kalian adalah saudara kami!” dan memberikan sen­jatanya kepada kerumunan tersebut: “Ini, ambil senjata saya dan bunuhlah saya kalau anda mau!” Orang-orang yang sedang berbelasungkawa bersorak sorai dan meneriakkan slogan-slogan seruan persatuan melawan rezim.) [97]


Terdapat insiden lain semacam itu. Beberapa serdadu wajib militer menembak perwira mereka atau melakukan bunuh diri karena diperintahkan untuk menembaki para demonstran. Di pihak lain, banyak desersi dan pemberontak dieksekusi oleh Savak.[98]

Di Iran tank-tank dipangkalkan di sekeliling istana untuk pertama kalinya sejak 25 tahun lalu. Syah sendiri mengutarakan kepada Newsweek: “We were I think in a very grave situation last Thursday,and it was very close. The people were not abiding by the law. They were not paying the slightest attention to the government’s warnings. As a matter of fact, they could have occupied everything they wanted.” (“Saya pikir kami dalam sebuah situasi yang mengerikan Selasa kemarin, dan hampir saja semuanya berantakan. Orang-orang tidak memperdulikan hukum. Mereka tidak mengacuhkan sedikitpun terhadap peringatan pemerintah. Faktanya, mereka bisa saja menguasai apapun yang mereka inginkan”).[99]

Setelah terjadinya perpecahan yang terjadi dalam tubuh tentara, Syah kehilangan semua kendali terhadapnya. Dalam kepanikan, setelah ragu pada awalnya, ia melakukan langkah terakhir untuk tetap memegang kendali kekuasaan, menunjuk Syahpur Bakhtiar dari Front Nasional sebagai perdana menteri.[100] Akan tetapi manuver tersebut gagal dan krisis tersebut menjadi lebih parah. Pada tanggal 16 Januari 1979, negara ini dalam sebuah keadaan pergolakan revolusioner. Tidak ada harapan yang tersisa bagi Syah, yang pada akhirnya harus terbang meloloskan diri dengan pesawat terbang ke Mesir. Sebelum meninggalkan Iran, Syah membentuk Dewan Negara pada 13 Januari 1979 dengan jumlah anggota sembilan orang. Syah memasukkan orang-orang kepercayaannya ke dalam Dewan Negara sebelum meninggalkan negeri Iran dengan harapan suatu saat Syah bisa kembali berkuasa setelah krisis usai. Sehari kemudian – setelah terbentuk Dewan Negara – , Ibu, keluarga dekat dan anak-anak Syah lebih dulu meninggalkan Iran menuju Los Angeles. Di sana mereka disambut demonstrasi oleh para pelajar dan pekerja Iran yang berada di Amerika serta warga Amerika yang simpati dengan perjuangan penggulingan Syah.[101]

Setelah Dewan Negara dilantik, pada 16 januari 1979, Mohammad Syah Reza didampingi istri meninggalkan Iran dengan pesawat pribadi. Syah tampak pucat dan tegang meninggalkan Iran. Orang-orang kepercayaannya tidak ada satu pun yang mengantarkan sampai bandara, termasuk ulama yang biasanya mengantar dengan meletakkan al-Qur’an di atas kepala Syah setiap lawatannya ke luar negeri. Bahkan, orang kepercayaannya di kalangan militer, seperti Jenderal Azhari dan Jenderal Oveissyi, Gubernur Militer, telah mendahului meninggalkan Iran tanpa sepengetahuannya.

Pengangkatan Syahpur Bakhtiar tidak membuat situasi Iran lebih baik, meskipun semua tuntutan rakyat Iran dituruti, seperti dicabutnya SOB (Undang-Undang Bahaya), penghentian penjualan minyak Israel dan Afrika Selatan, dan pemerintah tunduk kepada Deklarasi Dunia tentang HAM. Selanjutnya, pada 19 Januari 1979, jutaan orang demonstrasi menuntut Syahpur Bakhtiar mundur dari Perdana Menteri dan meminta Khomeini pulang memimpin negeri Iran. Rakyat Iran tersinggung dengan pernyataan Syahpur yang mengatakan: “Saya tidak mau mundur, saya Perdana Menteri dan saya akan tetap menjabatnya, bukan pupulance”.[102]

Maka dari itu, ilusi tentang militer yang tak terkalahkan telah hancur dalam waktu semalam. Revolusi Iran telah menghempaskan tentara terbesar kelima di dunia, tentara yang ditopang oleh imperialis Amerika karena kepentingan vitalnya terlibat dalam peran kunci ini di Timur Tengah. Tetapi dalam kenyataannya, tekanan dari rakyat begitu intensif sehingga tentara perkasa ini luluh lantak berkeping-keping seperti sebuah gelas anggur yang jatuh dari meja dalam suatu pesta mabuk.

Pada saat Khomeini kembali dari pengasingannya di Paris pada 1 Februari 1979,[103] perjuangan melawan Syah secara efektif telah selesai. Kondisi negara telah benar-benar terdisintegrasi dan kekuasaannya tumpah ke jalanan, menunggu seseorang untuk memungutnya. Meskipun tokoh karismatik tersebut tidak memainkan peranan secara langsung dalam menggulingkan Syah, ada orang-orang yang berkeinginan untuk memberinya sebuah peran pemuka. Sebagai konsekuensinya, dia dipertemukan dengan para perwira yang menjanjikannya dukungan dari unit-unit utama angkatan bersenjata. Elit militer berkeinginan untuk mendapatkan kembali kendali dan “ketertiban”.

Di seluruh pelosok negeri, terjadi desersi setiap hari, dan ketika Syahpur Bakhtiar menggunakan polisi militer serta Prajurit Istana untuk melawan sekelompok pemberontak yang merupakan para kadet angkatan udara, meletuslah pertempuran. Pemberontakan menyebar ke seluruh penjuru unit militer. Satu kubu dari Front Nasional yang dipimpin oleh Mehdi Bazargan, Sayap Militan Khomeini dan beberapa kelompok ultra-kiri (Marxis Feda’iyani-i Khalq dan Mojahedin-I Khalq), bergabung dengan para pemberontak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka meluluhlantakkan mesin perang Syah, merampas pabrik persenjataan, pangkalan militer, stasiun televisi, penjara serta parlemen.[104]

Akhirnya, pada 3 Pebruari 1979, di muka umum dan wartawan Khomeini mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi” dan meminta Syahpur Bakhtian mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, sebab kalau tidak, Khomeini mengancam akan ada perang suci. Syahpur pun akhirnya mengundurkan diri, dan jabatannya kemudian diserahkan kepada Mehdi Bazargan. Dinasti Pahlevi yang mulai didirikan pada 1925, akhirnya dapat ditimbangkan dengan kekuatan revolusi. Tumbangnya Dinasti ini sekaligus juga tumbangnya sistem monarki yang sudah 2000 tahun diterapkan di Iran.

Revolusi Iran tersebut mengandung makna atau pengaruh yang bersifat global. Untuk pertama kalinya di era modern, tokoh-tokoh agama (ulama) mampu dan berhasil melawan sebuah rezim modern, dan mengambil alih kekuasan negara. Untuk pertama kalinya implikasi revolusioner Islam, yang sampai sekarang terpendam dalam masyarakat nasab dan masyarakat kesukuan, berhasil direalisasikan dalam sebuah masyarakat industrial modern. Revolusi, tidaklah mesti berasal dari kelompok haluan kiri, melainkan bisa jadi dari kelompok masyarakat keagamaan; tidak mesti atas nama sosialisme, tetapi bisa jadi atas nama perjuangan Islam. Peristiwa revolusi Iran telah menggetarkan pola hubungan antara rezim negara dan gerakan keagamaan dan menyingkirkan keraguan akan masa depan, tidak hanya masa depan Iran, melainkan juga masa depan seluruh masyarakat Iran.

[1] Iran, secara bahasa artinya dataran Arya. Secara geografis letaknya berada di timur Indo-Europeans (tempat asal suku bangsa Arya). Mereka bereksodus ke dataran Iran pada sekitar 2000 SM, sehingga merekalah nenek moyang bangsa Iran modern sekarang ini. Lihat Herodotus, The Histories, terj. Aubrey de Salincourt (London: Penguin Classics, 1996), hlm. 8

[2] http://en2.wikipedia.org/wiki/History_of_Persia, diakses tanggal 20 Pebruari 2006
( Anjar Nugroho + Riady ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar