Napak Tilas Markas Sang Pangeran


SURAT keputusan peraturan perpajakan yang dibuat oleh Sultan Hamengku Buwono IV pada tahun 1823 menjadi salah satu sumber kekecewaan Pangeran Diponegoro. Pada masa itu, moralitas dan rasa kemanusiaan kaum bangsawan luntur akibat harta dan tahta. Kesakralan Kraton Yogyakarta pun nyaris tak berbekas karena banyak pejabat kraton yang tunduk pada peraturan Belanda. Berikut nukilan surat tersebut: “Jika kamu berpihak pada saya, cabutlah surat keputusan itu, dan jangan takut kepada residen. Tetapi jika kamu memilih memihak residen, saya tidak akan ikut campur “

Kekecewaan Pangeran Diponegoro bertambah manakala Belanda memasang patok-patok (tiang-tiang pancang) sebagai tanda pembuatan jalan baru, yang melintasi tanah Beliau di Tegalrejo sekitar pertengahan tahun 1825. Akhirnya - tanggal 21 Juli 1825 - Belanda menyerang dan membakar rumah Pengeran Diponegoro, setelah beliau dengan sengaja mencabut kembali patok-patok itu.

Peristiwa itu mengawali pecahnya perang Diponegoro (1825-1830), sekaligus menjadikan Goa Selarong dikenal sebagai tempat bersejarah karena digunakan beliau untuk mengatur strategi perang gerilya ketika itu. Goa ini berlokasi di Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, lebih kurang 10 kilometer di bagian selatan Kota Yogyakarta.

Nama Selarong sendiri berasal dari kata ‘sila’ (bersila) dan ‘rong’ (goa), yang mencerminkan kebiasaan Diponegoro saat bersemedi atau mengatur strategi sambil bersila di Goa. Goa yang sebenarnya berjumlah dua buah, Goa Kakung dan Goa Putri, ini letaknya di puncak bukit, menghadap arah selatan. Goa Kakung dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro, sedangkan Goa Putri diperuntukkan bagi putri dan isteri para pemimpin prajurit.

Di sebelah barat Goa, terdapat air terjun yang teduh dan indah. Di balik Goa (bagian utara) banyak ditumbuhi pohon jambu kluthuk (jambu biji), yang buahnya biasa ditawarkan penduduk setempat sebagai oleh-oleh. Meski untuk mencapainya cukup melelahkan, namun di balik Goa terhampar pemandangan indah khas pedesaan.

Sekitar seratus meter di selatan Goa, terdapat patirtan (kubangan air) yang menyerupai sendang, masing-masing berada di bagian bawah dan di atas bukit. Sendang bagian bawah bernama Manikmaya, dan di atasnya adalah Umbulmaya. Kedua sendang tersebut biasa dimanfaatkan Pangeran dan pengikutnya pada waktu itu untuk membersihkan diri maupun sumber air minum. Sendang Manikmaya sendiri konon berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga tidak sedikit pengunjung yang mengkhususkan diri datang ke tempat ini untuk memperoleh airnya.

Sayang, keberadaan diorama di barat pintu masuk yang seharusnya dapat berbicara banyak mengenai perjuangan Diponegoro sulit untuk dinikmati. Namun demikian, suasana alami, kesederhanaan, dan keprihatinan di kala itu masih dapat dirasakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar