PERCANDIAN

PENERTIAN CANDI
Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa. Namun demikian, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja. Banyak situs-situs purbakala lain dari masa Hindu-Buddha atau Klasik Indonesia, baik sebagai istana, pemandian/petirtaan, gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi. Candi juga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu Dewa kematian (Durga). Karenanya candi selalu dihubungkan dengan mnumen untuk memuliakan Raja yang meninggal contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati, selain itu candi pula berfungsi sebagai:

Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha, contoh candi Borobudur
  1. Candi Pintu Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contohnya candi Bajang Ratu
  2.  Candi Balai Kambang / Tirta: didirikan didekat / di tengah kolam, contoh candi Belahan
  3. Candi Pertapaan: didirikan di lereng – lereng tempat Raja bertapa, contohnya candi Jalatunda
  4. Candi Vihara: didirikan untuk tempat para pendeta bersemedhi contohnya candi Sari
 Struktur bangunan candi terdiri dari 3 bagian
  1. Kaki candi adalah bagian dasar sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20)
  2. Tubuh candi. Terdapat kamar – kamar tempat arca atau patung
  3.  kaki candi: berbentuk limas an, bermahkota stupa, lingga, ratna atau amalaka  
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang kelompok. Ada dua system dalam pengelempokan candi, yaitu:

  • Sistem Konsentris (hasil pengaruh dari India) yaitu induk candi berada di tengah – tengah anak – anak candi, contohnya kelompok candi lorojongrang dan prambanan

  • System membelakangi (hasil kreasi asli Indonesia )yaitu induk candi berada di belakang anak – anak candi, contohnya candi penataran
Fungsi Candi 
  •  Suatu candi di masa lampau biasanya berfungsi dan digunakan masyarakat dari latar belakang agamanya, yaitu Hindu-Saiwa, Budha Mahayana, Siwa Buddha dan Rsi.
  Bangunan candi terbagi menjadi:  

  1. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan. Contoh: C.Borobudur, C.Prambanan, C.Sewu, C.Plaosan (Jawa Tengah), C.Panataran di Jawa Timur.

  2. Candi Wanua/watak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh:candi yang berasal dari masa Majapahit,C.Sanggrahandi (Tulung Agung, Jawa Tengah), C.Gebang (Yogya),C.Pringapus (tulung Agung, Jawa Tengah).

  3. Candi pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh. Contoh: C.Kidal (pendharmaan Anusapati,raja Singhasari), C.Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana,raja Singhasari), C.Ngrimbi (pendharmaan Tribuanatunggadewi, ibu Hayam Wuruk),C. Tegawangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan C. Surawana (pendharmaan Bhre Wengker
Dalam hal pemahatan relief yang menghias dinding candi, jika disimak dengan seksama terdapat perbedaan yang lebih terinci lagi. Memang secara prinsip di candi-candi Langgam Jawa Tengah pemahatan reliefnya tinggi dan bersifat naturalis, namun terdapat sejumlah ciri lainnya lagi yang bersifat spesifik. Dengan demikian jika diuraikan secara lengkap ciri relief di candi-candi Jawa Tengah adalah:
  • Pemahatan relief tinggi
  • Penggambaran bersifat naturalis
  • Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu)
  • Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil
  • Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface)
  • Cerita acuan berasal dari kesusastraan India
  • Tema kisah umumnya wiracarita (epos)
  • Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir. 
Contoh Candi Jawa Tengah

 Mengenai ciri-ciri penggambaran relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:
  • Pemahatan relief rendah
  • Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit
  • Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata)
  • Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat “ketakutan pada bidang yang kosong”.
  • Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping
  • Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India.  
  • Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan)
  • Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28—29).
Dalam hal letak candi induk di suatu kompleks percandian, Soekmono menyatakan bahwa bangunan candi induk pada Langgam Jawa Tengah memang berada di pusat halaman, sedangkan bangunan candi induk di kompleks percandian dengan Langgam Jawa Timur terletak di halaman paling belakang. Soekmono menjelaskan:
“Maka mengenai bangunan candi harus diketengahkan bahwa candi Roro Jonggrang menghendaki ditariknya seluruh perhatian ke pusat menuju langit (lokasi kayangan tempat bersemayam para dewa), sedangkan Candi Panataran menghendaki penggelaran pandangan secara mendatar (yang sebenarnya merupakan proyeksi datar saja dari susunan vertikal) dengan tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung” (Soekmono 1986: 237).
Sebenarnya secara tidak langsung Soekmono telah menjelaskan adanya fungsi yang berbeda antara bangunan candi-candi dalam masa Klasik Tua yang didirikan di Jawa bagian tengah dan candi-candi masa Klasik Muda di Jawa Timur. Bahwa bangunan candi-candi masa Klasik Tua didirikan untuk keperluan ritus pemujaan kepada dewata, sedangkan candi-candi di masa Klasik Muda terutama era Singhasari dan Majapahit bermaksud untuk didedikasikan bagi pemujaan nenek moyang telah diperdewa. Maka bangunan candi jelas merupakan monumen keagamaan yang bersifat sakral karena diperuntuk sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan hal Adikodrati (superhuman beings).
Sebagai bangunan sakral candi tidaklah mengikuti kaidah keagamaan secara ketat, artinya tidak setiap bangunan candi harus didirikan secara seragam. Bangunan-bangunan tersebut mempunyai wujud arsitektur yang berbeda-beda, walaupun mempunyai latar belakang keagamaan yang sama. Wujud arsitektur yang berbeda itulah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut, karena perbedaan tersebut sebenarnya menunjukkan adanya kekhasan. Oleh karena itu lazim disebut-sebut bahwa bangunan candi memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan pada bangunan candi lainnya. Misalnya keistimewaan Candi Bima di Dieng adalah atapnya, atap dihias dengan bentuk-bentuk seperti buah keben (amalaka) yang tertekan dan oeleh karena itu wujudnya pipih. Candi lain mempunyai keistimewaan lain lagi dan seterusnya setiap candi mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri.

Berdasarkan bentuk arsitekturnya, sebenarnya candi-candi di wilayah Jawa bagian tengah dapat dibagi ke dalam dua macam gaya yang berlatarbelakangkan nafas keagamaannya, yaitu (1) candi-candi Hindu-śaiva dan (2) candi-candi Bauddha. Walaupun secara prinsip candi-candi itu mempunyai kesamaan, namun terdapat banyak perbedaan pula yang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.
Persamaan antara bangunan candi-candi Hindu-śaiva dan Bauddha di wilayah Jawa Tengah yang didirikan antara abad ke-8—10 M antara lain adalah:

  1. umumnya mempunyai pondasi yang berbentuk sumuran

  2. secara vertikal terdiri dari 3 bagian, yaitu, kaki, tubuh, dan atap bangunan

  3. mempunyai ruang utama di tengah bangunan

  4. dilengkapi dengan sejumlah relung yang kadang-kadang diperbesar menjadi ruang

  5. pipi tangga berbentuk ikal lemah

  6. terdapat gabungan bingkai padma, setengah lingkaran, dan rata

  7. ornamen yang selalu dikenal adalah hiasan Kala dan Makara.
 persamaan itu dapat ditemukan baik di candi-candi Hindu ataupun Buddha, seakan-akan telah menjadi ciri arsitektur bagi bangunan candi apapun di masa itu. Sebagai contoh pada butir b, baik pada candi Hindu ataupun Buddha pembagian vertikal tersebut selalu dapat dijumpai, yaitu (1) adanya bagian pondasi dan kaki candi dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari alam Bhurloka, pada candi Buddha bagian ini dipandang sebagai pencerminan lapisan kehidupan Kamadhatu. (2) Bagian tubuh candi tempat bersemayamnya arca-arca dewa baik di bilik tengah (utama) atau relung-relung (parsvadewata) dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari dunia Bhuvarloka, sedangkan dalam ajaran Buddha dapat dipandang sebagai pencerminan dari lapisan kehidupan Rupadhatu, dan (3) atap candi merupakan simbol Svarloka dalam Hinduisme, yaitu alam kehidupan para dewa. Adapun dalam ajaran Buddhisme atap adalah simbol Arupadhatu, suatu suasana tanpa wujud apapun, benar-benar hampa (śunyata).
Jadi berdasarkan pembagian arsitektur secara vertikal baik di candi Hindu ataupun Buddha sebenarnya melambangkan lapisan 3 dunia, yaitu dunia keburukan, dunia yang agak baik, dan dunia kebajikan sepenuhnya. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam di bangunan candi, terutama dalam hal penerapan ornamennya, sebab ornamen-ornamen itu ada yang khas menggambarkan suatu dunia tertentu. Misalnya penggambaran figur-figur makhluk kahyangan yang melayang di awan, binatang-binatang mitos, pohon Kalpataru, relief cerita yang mencerminkan lapisan alam tertentu, dan sebagainya.
Sebelum membicarakan cirri penting candi-candi Hindu, berikut didaftarkan dulu candi-candi Hindu penting di wilayah Jawa bagian tengah. Dengan adanya daftar tersebut dapat diketahui adanya sejumlah candi Hindu yang bangunannya masih berdiri, walaupun ada yang tidak lengkap lagi. Candi-candi itu adalah adalah:
1. Kelompok Candi Dieng + abad ke-8 Banjarnegara
2. Kelompok Candi Gedong Songo + abad ke-8 Ambarawa
3. Candi Gunung Wukir tahun 732 M Magelang
4. Candi Pringapus + abad ke-9 Temanggung
5. Kelompok Candi Sengi + abad ke-9 Magelang
6. Candi Selagriya + abad ke-9 Magelang
7. Candi Sambisari + abad ke-9 Sleman
8. Candi Kedulan + abad ke-9 Sleman
9. Candi Morangan + abad ke-9 Sleman
10. Candi Barong + abad ke-9 Sleman
11. Candi Ijo + abad ke-9 Sleman
12. Candi Merak + abad ke-10 Klaten
13. Candi Lawang + abad ke-10 Boyolali
14. Candi Sari + abad ke-10 Boyolali
15. Percandian Prambanan tahun 856 M Sleman 

Sebenarnya terdapat juga candi-candi Hindu yang tinggal runtuhannya saja, karena itu tidak dapat diperkirakan kembali wujud lengkapnya semula. Misalnya Candi Gondosuli di Temanggung, Candi Ngempon di Ambarawa, dan Candi Retno di Magelang. Tentunya di masa mendatang diperkirakan masih akan ditemukan candi-candi Hindu lainnya di wilayah Jawa Tengah, terutama di sekitar gunung atau pegunungan, mengingat terdapat konsep kuat bahwa di daerah pegunungan itulah para dewa bersemayam, jadi para pembangun candi diperkirakan akan banyak mendirikan candi di daerah dataran tinggi dan gunung-gemunung.

 
 Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah candi Hindu di wilayah Jawa Tengah dapat diketahui adanya sejumlah ciri khas yang dimiliki oleh bangunan-bangunan candi Hindu, yaitu:
Di bagian tengah pondasi terdapat sumuran (perigi) tempat untuk menyimpan pendaman
Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan-kiri pintu (berisikan arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan Nandiśvara)
Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisikan arca Nandi.
Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga-Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, kemuncaknya berbentuk motif ratna.

Demikian beberapa ciri penting yang terdapat pada bangunan gaya arsitektur candi Hindu-śaiva yang terdapat di Jawa bagian tengah. Ciri-ciri tersebut sebagian besar dapat ditemukan pada hampir semua bangunan candi Hindu-śaiva, namun ada pula yang hanya didapatkan pada 2 bangunan saja, selain dua bangunan tersebut tidak dapat dijumpai ciri yang dimaksudkan. Misalnya di lingkungan percandian Dieng dan Gedong Songo, setiap candi tidak dilengkapi dengan 3 Candi Perwara di hadapannya, melainkan terdapat satu bangunan saja yang denahnya empat persegi panjang, kasus demikian etrjadi pada Candi Arjuno yang berhadapan dengan Candi Semar. Di kompleks Gedong Songo terdapat Candi Gedong Songo II yang berhadapan dengan struktur kaki candi berdenah empat persegi panjang, dahulu mungkin merupakan candi perwaranya. Candi Gedong Songo I, justru tidak terdapat relung di sisi luarnya, dan terlihat adanya sisa pagar langkan di bagian tepian pradaksinapathanya, jadi mirip dengan bentuk arsitektur candi Buddha. Hanya saja karena candi-candi lainnya di kelompok percandian Gedong Songo tersebut bernafaskan agama Hindu-śaiva, maka candi Gedong Songo I pun digolongkan sebagai candi Hindu-śaiva pula.

 
Dalam pada itu terdapat pula candi-candi Buddha penting di wilayah Jawa bagian tengah, candi-candi itu ada yang dipandang menarik dari sudut arsitekturnya selain stupa Borobudur yang tidak ada duanya lagi di dunia. Candi Borobudur sebenarnya merupakan gabungan antara bentuk punden berundak yang dihiasi dengan stupa-stupa, stupa induk berada di puncak pundek seakan-akan menjelma menjadi mahkota bagi punden berundak khas bangunan suci masa prasejarah Indonesia (Wirjosuparto 1964: 53—54). Candi-candi Buddha ada yang mempunyai denah empat persegi panjang dalam ukuran besar (Candi Sari, Plaosan Lor, dan Banyunibo), sedangkan candi Hindu hanya berukuran kecil saja (Candi Semar dan Gedong Songo IIIc). Terdapat pula candi-candi Buddha yang dilengkapi dengan banyak Perwara, misalnya Candi Lumbung, Sewu, Plaosan Lor, dan Kidal, sedangkan candi Hindu hanya Prambanan saja yang dilengkapi banyak Perwara. Gambaran umum percandian Buddha di Jawa bagian tengah antara lain:
1. Percandian Ngawen + abad ke-9 Magelang
2. Candi Kalasan + abad ke-8 Sleman
3. Candi Sari (candi Bendah) + abad ke-8 Sleman
4. Stupa Borobudur + abad ke-9 Magelang
5. Candi Pawon + abad ke-9 Magelang
6. Candi Mendut + abad ke-9 Magelang
7. Percandian Lumbung + abad ke-9 Sleman
8. Candi Bubrah sekitar tahun 782 M Sleman
9. Percandian Sewu (Manjusrigrha) tahun 792 M Sleman
10. Percandian Plaosan Lor + abad ke-10 Klaten
11. Percandian Plaosan Kidul + abad ke-10 Klaten
12. Candi Sajiwan + abad ke-9 Klaten
13. Percandian Banyunibo + abad ke-9 Sleman
14. Stupa Dawangsari + abad ke-10 Sleman

Setelah membicarakan beberapa candi Buddha penting di wilayah Jawa bagian tengah, kronologi relatif, dan lokasinya sekarang ini, selanjutnya diperhatikan beberapa cirri penting dari candi-candi Buddha. Dinamakan penting karena cirri-ciri itulah yang secara umum hadir pada candi-candi Buddha, yaitu:
Ciri-ciri penting candi Buddha

 
 Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap
Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat bauddha
Di bilik candinya, menempel di dinding belakang terdapat “pentas persajian” , untuk meletakkan arca.
Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
Pada beberapa candi besar halaman percandian diperkeras dengan hamparan balok batu, hal itu dapat ditafsirkan bahwa di masa silam pernah terjadi ritual yang banyak menyita aktivitas di halaman tersebut.

Demikianlah apabila diperhatikan secara seksama terdapat perbedaan antara candi-candi Hindu-śaiva dan Buddha Mahayana di masa Klasik Tua di Jawa bagian tengah. Perbedaan itulah yang dapat disebut langgam atau gaya, jadi di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 candi-candi dibangun dengan dua langgam, yaitu langgam candi Hindu atau langgam candi Buddha. Pendapat R.Soekmono dalam hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut, bahwa langgam candi Jawa tengah itu ternyata dapat dibagi menjadi 2 lagi. Sebenarnya kedua langgam itu telah mengalami gejala perpaduan di kompleks Prambanan, sebab ciri-ciri candi Hindu dan Buddha dapat ditemukan secara bersama-sama di gugusan candi Prambanan. Sejalan dengan pendapat J.G.de Casparis akhirnya terjadi perkawinan antara anggota “keluarga Sanjaya” yang Hindu dan anggota Śailendravamsa yang beragama Buddha. Perkawinan dua keluarga tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan bangunan suci yang bercorak dua agama, yaitu percandian Prambanan atau Śivagrha dalam tahun 856 M (Sumadio 1984).

Setelah kerajaan berkembang di wilayah Jawa bagian timur, maka bermacam aktivitas keagamaan pun beralih ke wilayah tersebut. Bangunan suci pun kemudian dibangun oleh masyarakat masa itu di lokasi-lokasi yang dipandang sakral melanjutkan tradisi Klasik Tua, seperti di pertemuan dua aliran sungai, daerah dataran tinggi dan pegunungan, dan dekat sumber-sumber air (mata air). Hal yang menarik di daerah malang sampai sekarang masih terdapat bangunan candi dengan Langgam candi Hindu Klasik Tua –sebagaimana yang terdapat pada candi Hindu-saiva di Jawa Tengah, yaitu Candi badut. Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang bertarikh 760 M. Dalam prasasti itu diuraikan adanya Kerajaan Kanjuruhan, Raja yang mengeluarkan prasasti itu adalah Gajayana yang beragama Hindu-saiva. Sehubungan dengan sebab tertentu yang belum dapat dijerlaskan, Kanjuruhan runtuh mungkin masih dalam abad ke-8 juga, kemudian uraian sejarahnya tidak dapat diketahui lagi.

 
 Tinggalan arsitektur tertua setelah Mataram ibu kota berlokasi di Jawa bagian timur antara abad ke-10—11 M sebenarnya cukup langka, dua di antaranya yang penting adalah petirthān kuno, yaitu Jalatunda (abad ke-10 M) yang terletak di lereng barat Gunung Penanggungan dan Belahan terletak di lereng timurnya (abad ke-11 M). Kedua petirthan tersebut sampai sekarang masih mengalirkan air walaupun sudah tidak deras lagi. Menilik gaya arsitektur, relief dan seni arcanya patirthǎn Jalatunda dan Belahan dapat digolongkan sebagai karya arsitektur tertua di Jawa Timur setelah periode Kanjuruhan. Satu runtuhan candi yang semula merupakan patirthǎn pula adalah candi Sanggariti yang berlokasi di daerah Batu, Malang. Hanya saja candi penting dari sekitar abad ke-10 tersebut sudah tidak terurus lagi, sebagian bangunannya (tubuh dan atapnya telah hilang).
Sisa bangunan candi yang diperkirakan didirikan oleh raja Pu Sindok (929—947 M) adalah runtuh candi Lor yang terbuat dari bata di wilayah Kabupaten Nganjuk sekarang. Sisa candi Gurah di wilayah Kediri pernah ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 1969, bangunannya hanya tinggal pondasinya saja, sedangkan arca-arcanya dalam keadaan cukup baik, yaitu arca Brahma, Surya, Candra, dan Nandi. Bangunan Candi Gurah diperkirakan berasal dari Kerajaan Kadiri (abad ke-12 M), candi itu masih berlanggam candi Hindu Klasik Tua karena di depan candi induknya terdapat 3 candi perwara masing-masing mempunyai pondasi yang terpisah. Ujung pipi tangganya dihias dengan makara, suatu yang lazim pada candi-candi Jawa tengah, sedangkan arca-arcanya mirip dengan gaya seni arca Singhasari, oleh karena itu Soekmono menyatakan bahwa arsitektur candi Gurah merupakan mata rantai penghubung antara gaya bangunan candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah dan masa Klasik Muda di Jawa bagian timur (Soekmono 1969: 4—5, 16—17).

Bangunan candi di wilayah Jawa bagian timur yang relatif masih utuh kebanyakan berasal dari periode Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14–15 M). Candi-candi yang dihubungkan dengan periode Kerajaan Singhasari yang masih bertahan hingga kini adalah Candi Sawentar (Blitar), Kidal, Singhasari, Stupa Sumberawan (Malang), dan candi Jawi (Pasuruan).
Adapun candi-candi dari era Majapahit yang masih dapat diamati wujud bangunannya walaupun banyak yang tidak utuh lagi, adalah:
1. Candi Sumberjati (Simping) Abad ke-14 M Blitar
2. Candi Ngrimbi (Arimbi) s.d.a Jombang
3. Candi Panataran (Rabut Palah) s.d.a Blitar
4. Candi Surawana s.d.a Kediri
5. Candi Tegawangi s.d.a Kediri
6. Candi Kali Cilik s.d.a Blitar
7. Candi Bangkal s.d.a Mojokerto
8. Candi Ngetos s.d.a Nganjuk
9. Candi Kotes s.d.a Blitar
10. Candi Gunung Gangsir s.d.a Pasuruan
11. Candi Jabung s.d.a Probolinggo
12. Candi Kedaton Abad ke-15 M Probolinggo
13. Candi Brahu s.d.a Trowulan/Mojokerto
14. Candi Tikus s.d.a s.d.a
15. Gapura Bajang ratu s.d.a s.d.a
16. Gapura Wringin Lawang s.d.a s.d.a
17. Candi Pari Abad ke-14 M Sidoarjo
18. Candi Pamotan Abad ke-15 M Mojokerto
19. Candi Dermo s.d.a s.d.a
20. Candi Kesiman Tengah s.d.a s.d.a
21. Candi Sanggrahan Abad ke-14 M Tulungagung
22. Candi Mirigambar s.d.a s.d.a
23. Candi Bayalango s.d.a s.d.a
24. Punden berundak di Penanggungan Abad ke-15—16 M Mojokerto

 
 Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu (1) Gaya Singhasari, (2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur”, dan (5) Punden berundak. Untuk lebih jelasnya ciri setiap gaya tersebut adalah sebagai berikut:
1.Gaya Singhasari
Dinamakan demikian karena wujud arsitektur yang menjadi ciri gaya ini mulai muncul dalam zaman kerajaan Singhasari dan terus bertahan hingga zaman Majapahit. Ciri yang menonjol dari Gaya Singhasari adalah:
  1. Bangunan candi utama terletak di tengah halaman, atau di daerah tengahnya yang sering tidak terlalu tepat.
  2. Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
  3. Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.

 
 Contoh gaya Singhasari adalah: Candi Sawentar, Kidal, Jawi, Singhasari (memiliki keistimewaan), Angka Tahun Panataran, Kali Cilik, Ngetos, dan Bangkal.
contoh Candi Jawi

 

 

 
candi kidal

 

 

 
2.Gaya Brahu
 
Brahu adalah nama candi bata yang terletak di situs Trowulan, bentuk bangunannya unik, karena arsitekturnya baru muncul dalam zaman Majapahit. Dalam masa sebelumnya baik di era Singhasari atau Mataram Kuno bentuk arsitektur demikian belum dikenal. Dapat dipandang sebagai corak arsitektur tersendiri karena selain Candi Brahu candi yang sejenis itu masih ada lagi dalam zaman yang sama. Ciri Gaya Brahu adalah:
 
  1. Bagian kaki candi terdiri atas beberapa teras (tingkatan), teras atas lebih sempit dari teras bawahnya).
  2. Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
  3. Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.
 
Termasuk kelompok Gaya Brahu adalah Candi Brahu, Jabung, dan Gunung Gangsir. Dalam pada itu di wilayah Padang Lawas, Sumatra Utara terdapat sekelompok bangunan suci dengan Gaya Brahu pula, dinamakan dengan Biaro Bahal yang jumlahnya lebih dari 3 bangunan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas tersebut didirikan dalam masa perkembangan Majapahit pula.

  
3.Gaya Jago
Candi Jago terletak di Malang, arca-arcanya berlanggam seni Singhasari dengan adanya tokoh yang diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya, namun gaya bangunannya tidak sama dengan dua macam gaya yang telah disebutkan terdahulu. Menilik bentuk bangunannya yang berbeda dengan dua gaya lainnya, maka Candi Jago bersama beberapa candi lainnya yang sejenis termasuk ke dalam gaya seni arsitektur tersendiri. Untuk memudahkannya gaya arsitektur itu dinamakan dengan Gaya Jago, dengan Candi Jago sebagai contoh terbaiknya. Ciri-ciri penting Gaya Jago adalah:  
  1. Kaki candi berteras 1, 2 atau 3 dengan denah dasar empat persegi panjang. 
  2. Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas. 
  3. Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.

 Bangunan candi yang termasuk kelompok Gaya Jago adalah: Candi Jago, Candi Induk Panataran, Sanggrahan, dan Kesiman Tengah.

 
4. “Candi Batur”
Dinamakan demikian karena bentuknya hanya merupakan suatu bangunan 1 teras sehingga membentuk seperti siti inggil atau batur. Sekarang hanya tersisa batur itu saja dengan tangga di salah satu sisinya, denahnya bias berberntuk bujur sangkar dan dapat pula berbentuk empat persegi panjang. Di bagian permukaan batur biasanya terdapat objek sakral, antara lain berupa lingga-yoni, altar persajian, pedupaan berbentuk candi kecil atau juga arca perwujudan tokoh yang telah meninggal. Contoh bangunan candi seperti itu adalah Candi Kedaton di Probolinggo, Candi Kedaton di Trowulan, Candi Miri Gambar, Tegawangi, Surawana, Papoh (Kotes), dan Pasetran di lereng utara Gunung Penanggungan.

 
5. Punden berundak
Adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar persajian yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV). Selain di Gunung Penanggungan terdapat pula beberapa punden berundak di lereng timur Gunung Arjuno, hanya saja dinding teras-terasnya disusun dari batu-batu alami, tanpa dibentuk dahulu menjadi balok-balok batu.

  
Penggolongan bentuk arsitektur candi-candi di Jawa Timur tersebut berdasarkan pengamatan terhadap sisa bangunan yang masih ada sekarang, mungkin di masa silam lebih banyak lagi bentuk arsitektur yang lebih unik dan menarik, hanya saja tidak tersisa lagi wujudnya. Terdapat juga bangunan candi yang tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk arsitektur manapun, misalnya Candi Pari yang bangunannya melebar dan tinggi, mirip dengan bangunan suci yang terdapat di Champa (Indo-China). Mungkin saja dahulu terdapat pengaruh gaya bangunan Champa yang masuk ke Majapahit, hal itu agaknya sejalan dengan berita tradisi yang mengatakan bahwa raja Majapahit pernah menikah dengan seorang putri Champa.Bangunan lain yang juga unik adalah Candi Sumur di dekat Candi Pari, dinamakan demikian karena ruang utamanya berupa lubang sumur yang berair. Candi Sumur mempunyai padanannya pada Candi Sanggariti di Batu, Malang, namun dari kronologi yang jauh berbeda.

 
Aktivitas keagamaan Hindu-Buddha di Jawa masa silam tentunya cukup bergairah, terbukti dengan ditemukannya banyak peninggalan bangunan suci dari kedua agama itu baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun timur. Para ahli arkeologi dan sejarah kuno telah sepakat untuk menyatakan bahwa munculnya berbagai karya arsitektur bangunan suci itu sebenarnya sejalan dengan keberadaan pusat kerajaan sezaman. Ketika pusat kerajaan berada di Jawa Tengah, candi-candi Hindu-Buddha banyak dibangun di wilayah tersebut, dan ketika pusat-pusat kerajaan muncul di Jawa Timur, pembangunan candi-candi pun banyak dilakukan di wilayah Jawa Timur.

Gaya arsitektur bangunan candi ketika pusat Kerajaan Mataram masih berlokasi di Jawa Tengah, lebih didasarkan pada latar belakang agamanya. Maka dari itu terdapat Langgam Candi Hindu-saiva dan Langgam Candi Buddha Mahayana. Lain halnya ketika pusat-pusat kerajaan telah berada di Jawa Timur, perbedaan gaya bangunan suci itu tidak didasarkan kepada perbedaan agama lagi, baik candi Hindu ataupun Buddha gaya arsitekturnya sama, hal yang membedakannya hanya terletak pada arca-arca yang dahulu disemayamkan di dalamnya. Mungkin kenyataan ini sejalan dengan konsep Siwa-Buddha bahwa sebenarnya dalam hakekat tertinggi sebenarnya tidak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha, oleh karena itu tidak perlu adanya perbedaan secara tegas terhadap wujud bangunan sucinya. 
Satu masalah penting yang perlu kajian lebih lanjut adalah apa yang terjadi di wilayah Jawa bagian tengah ketika Kadiri, Singhasari dan Majapahit berkembang di Jawa Timur?, apakah Jawa Tengah sepi dari aktivitas keagamaan?, apakah masih dihuni oleh penduduk?, mengapa tidak ada sumber sejarah dan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jawa Tengah antara abad ke-11—14?. Demikianlah terdapat masalah yang menarik untuk diungkapkan di masa mendatang, bahwa tidak mungkin wilayah tua di Jawa bagian tengah bekas tempat kedudukan para Syailendra itu tiba-tiba sepi saja, ketika kerajaan-kerajaan berkembang di Jawa bagian timur. Penelisika untuk menjelaskan permasalahan itu masih terbuka, dan mengundang para ahli yang berminat untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.

 
PUSTAKA ACUAN
Munandar, Agus Aris, 2003, Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Bogor: Akademia.

 
—————–, 2004, “Menggapai Titik Suci: Interpretasi Semiotika Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno”, dalam dalam T.Christomy & Untung Yuwono (Penyunting), Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 161—180.

 
Soekmono, R., 1969, Gurah, The Link Between The Central and The East-Javanese Arts. Bulletin of the Archaeological Institute of the Republic of Indonesia No.6. Djakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

 
——————, 1986, “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia”, dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 228—246.

 
—————–, 1997, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

 
Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

 
Wirjosuparto, Sutjipto, 1964, Glimpses of Cultural History of Indonesia. Djakarta: Indira.